Beberapa pekan lalu, saya mendapat kabar yang bikin shock. Salah seorang teman seangkatan saya di kampus, Hardiana, dipanggil Allah dalam usia yang masih muda. Seumuran saya. 27, atill young, no? Perantara ajalnya adalah sakit anemia aplastik dan maag kronis. Berita itu mengingatkan saya bahwa maut tak kenal usia. Kematian tak mensyaratkan kita harus tua dulu. Begitulah.
Hal pertama yang terlintas ketika mendengar kabar beliau telah tiada adalah senyum dan candanya yang khas. Meski kami teman sekelas semasa kuliah, tapi kami bukan teman akrab yang rutin berjumpa dalam kurun waktu tertentu. Tak juga rutin berkirim pesan lewat berbagai aplikasi messenger atau layanan sms. Apalagi berbagi kabar lewat panggilan telepon. Tak pernah. Namun ketika kami berjumpa di kampus, khususnya ketika tak ada lagi proses belajar mengajar rutin seperti di semester -semester awal perkuliahan, Hardiana selalu dengan hangat melontarkan canda dan berbagi tawa riangnya dengan saya. Tak akan pernah saya lupakan.
Maka ketika saya dan teman-teman mendapat kabar duka itu, saya merasa seperti kehilangan teman akrab. Sedih. Tak menyangka. Meski pastilah tak sesedih keluarga dan kawan-kawan akrabnya.
So that is how we remember her. Hardiana yang ceria. Hardiana yang sanggup membuat kami merasa seperti teman akrabnya. You will always be remembered, Hardiana :')
Kelak ketika kita tiada, seperti apakah kita akan diingat? Tak bisa dibuat-buat. Orang-orang akan mengingat kita apa adanya kita. Jadilah diri sendiri. Jadilah yang terbaik dari diri kita sendiri. Bukan semata untuk dikenang orang-orang. Tapi supaya di akhirat sana Allah berikan rahmatNya agar kita bisa berkumpul di syurga bersama mereka yang kita sayangi.