Lidah kita berbeda, kakak..

Postingan ini terinspirasi oleh tulisan Kang Asep: Selera memang tak dapat diperdebatkan.

Yesss! Saya sangat sepakat dengan judul post tersebut.

Pic: here

Different pond, different fish. Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. And different taste, different tongue. Lidah kita beda kakaaa, maka berbeda pula selera kita dengan suatu makanan tertentu, misalnya.

Contoh konkrit: untuk orang Kalimantan Barat, ikan asam pedas mungkin wuenak banget rasanya. Tapi belom orang Jawa berpikiran sama. Atau, bagi orang Sunda, karedok itu mantap suratap banget, belum tentu orang Papua merasakan demikian juga. Iya ngga? ;)

Jangankan orang-orang lintas pulau, bahkan orang serumah saja punya selera yang berbeda-beda. Adek saya sampai sekarang bersikekeuh menyatakan bahwasanya nasi padang itu out of his list of favorite food, padahal saya yakin bahwasanya nasi padang adalah makanan terenak nomor 1 yang nyaris selalu sanggup membangkitkan selera makan saya. Nah, bahkan adik kakak pun punya selera berbeda.

The problem now is, seringkali kita konon khilaf 'mencela' selera orang lain. Padahal, sebagaimana yang dipaparkan Kang Asep, selera adalah perkara yang tak dapat diperdebatkan. Sampai senen ketemu senen juga bakalan debat kusir terusss kalau keukueh memperdebatkan selera. Unless, selera yang akan kita komplain ini sudah jelas-jelas bertentangan dengan syari'at agama. Kalau yang 1 sih sudah jelas undebatable yes.

Maka, selagi selera yang berbeda tersebut masih berada dalam koridor dan norma-norma agama, kenapa merasa bangga dan senang sekali bisa mencela selera orang lain? 

Lidah kita berbeda, kakaaaak... Jangan suka mencela-cela ah. Kayak ga diajarin ngomong yang baik aja deh lidahnya *kemudian melet* :p

“Tidaklah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mencela suatu makanan sekalipun. Jika beliau menyukainya maka beliau memakannya dan bila beliau tidak menyukainya maka beliau meninggalkannya (tidak memakannya).” (HR. Al-Bukhari no. 5409 dan Muslim no. 2064)