Nostalgia itu kadang indah, kadang membuat menangis, kadang bikin mabok juga. Lama-lama, mabok juga saya nostalgia dengan 2 buah ketikan untuk hari ini saja. Let me tell ya a bit about doing tarawih prayer. Today is the 6th Ramadhan, my 2nd day of doing the prayer. I am a bit confused about some people who actually still have valuable chance to do the prayer, but they do not do. I myself this evening, frankly speaking, felt a bit laziness to do. But for listening adzan, I felt I would be very guilty not going to the mosque.
However, sepulang tarawih tadi, saya menemukan fenomena menyedihkan. Sedikit heran dengan beberapa orang *tetangga saya, beberapa gelintir* yang secara geografis rumahnya sangat dekat dengan surau, bahkan bersebelahan, malah tidak melangkahkan kaki meringankan hati untuk tarawih malam ini. Tidak sekedar malam ini saja rasanya. Hampir tiap malam, bahkan hampir tiap tahun tarawihan. Bukannya mau usil dengan gajah di pelupuk mata yang tak tampak atau iseng nonton semut di seberang lautan, tapi saya hanya prihatin saja menyaksikan fenomena di depan mata tanpa bisa berbuat apa-apa selain doa.
Demi melihat fenomena itu, selain berdoa, saya juga bersyukur bahwa ternyata saya masih lebih mending dibandingkan orang-orang tersebut. Langkah kaki sebanyak kurang lebih 50 sampai 60 setiap kali menuju ke masjid mudah-mudahan bisa menjadi tambahan pahala untuk sedikit mengurangi degradasi yang sudah seringkali terjadi. Silaturrahmi sesudah tarawih juga semoga menjadi bagian dari pengurangan kesalahan yang sudah begitu banyak saya tumpuk.
Anyway, biar bagaimanapun juga, saya tetap tidak berani berjanji. Janji adalah hutang. Saya tidak terlalu suka berhutang.
No comments:
Post a Comment