
Pyuuuwh, akhirnya dapat tugas kuliah juga. Betapa bahagianya dapat tugas lagi. Bisa bereksperimen dan bermain-main dengan tugas kuliah, senang sekali. Meninggalkan beberapa kewajiban yang tidak wajib, demi sebuah tugas kuliah. Sebuah tugas kuliah, demi seonggok nilai di score list, terpampang indah: A. Sebegitu berartikah sebuah ”A” untuk anak-anak kuliahan?
Baru saja sore ini saya bicarakan masalah ini ke salah satu murid saya. Jangan belajar untuk mengejar nilai. Pikirkanlah prosesnya. Kalau kita mengerjakan sesuatu dengan niat ikhlas untuk mendapatkan pengalaman, maka kita akan rasakan proses yang bermakna dalam memahami apa yang kita kerjakan. Ketika tiba saatnya hasil kerja kita akan diberi nilai, kepuasanlah yang akan kita dapatkan. Kira-kira, seperti itulah isi dari nasehat saya kepada murid saya tadi. Apakah saya sendiri sudah seperti itu ya?
Saya rasa, iya saya lebih suka proses daripada hasil. Sungguh, saya tidak menafikan diri bahwa saya sangat benci melihat skor “C” yang ada di transcript nilai saya saat semester 1. Nilai C yang entah datang darimana. C untuk sebuah mata kuliah yang saya yakin saya sangat kuasai, namun (barangkali) jatuh ketika jelang ujian akhir. Masya Allah. Apa saya sebegitu mengejar nilai? Tentu saja tidak. Saya bisa rasakan proses ‘pengerjaan’ keseriusan saya terhadap hampir semua mata kuliah. Mengapa saya nyatakan ‘hampir semua’? Ya, karena memang tidak semua mata kuliah bisa saya seriusi. Beberapa dosen seakan menuntuk untuk tidak terlalu serius dengan mata kuliah yang diajarkannya.
Sekedar melihat nilai B saja, kadang hati saya agak sedikit kesal dan ingin marah. Kenapa saya bisa dapat B untuk sebuah mata kuliah yang saya yakini saya sanggup meraih A untuk itu? Setelah melihat deretan detail nilai, ternyata saya jatuh di Ujian Akhir Semester. Kuota nilai untuk UAS adalah 40%, tertinggi dari kuota untuk nilai lainnya seperti Ujian Tengah Semester, tugas terstruktur dan aktivitas harian. Betapa menyebalkannya menyadari bahwa saya adalah salah satu mahasiswi yang aktif beropini, bertukar pendapat, dan tentunya mendengarkan pada saat proses perkuliahan berlangsung, namun perhakiman nilai didasarkan pada satu helai kertas yang sebagian soalnya tidak dibahas secara menyeluruh di perkuliahan. Kasus lama, yang sebenarnya tidak saya permasalahkan lagi. Saya cukup puas dan bersyukur bahwa ternyata skor B tergolong ’lumayan’ dibandingkan C atau D.
Maka, inilah pelajaran untuk saya dalam memberikan point atau nilai kepada murid-murid saya nanti. Bahwa ketika saya menjelaskan, ketika kalian paham apa yang saya jelaskan, ketika kalian menghargai penjelasan saya, maka itulah yang akan menjadi nilai akhir kalian. Mau tidak mau, proses subjektivitas terjadi dalam penilaian. Tentu saja, dengan subjektivitas yang tanpa kandungan sentimen pribadi, dia adiknya teman, atau dia rajin dengerin saya siaran. Tidak, bukan subjektivitas seperti itu. Saya menganggap bahwa subjektivitas yang saya terapkan dalam penilaian ini benar-benar OBJEKTIF dan bisa dipertanggung jawabkan.
Barangkali, repot yah untuk memberikan penilaian subjektif yang objektif kepada ribuan murid Indonesia saat ini. Wajarlah jika kemudian ke depannya masih banyak kita temukan orang-orang yang pintar di atas kertas, namun terlihat agak kaku di lapangan. Atau, wajarlah jika beberapa tahun terakhir kita temukan, beberapa siswa yang diprediksikan tidak lulus, namun lulus ujian akhir dengan nilai gemilang. Dan juga, wajarlah jika masih ada saja siswa-siswi berprestasi yang berpotensi luar biasa, namun terkesan biasa-biasa saja dengan indikator nilai di lembaran ijazah yang sebenarnya sangat tidak mewakili apa-apa.
Saya bersyukur, tugas kuliah yang akan saya selesaikan setelah ini akan dinilai oleh seorang dosen yang memberikan penilaian subjektif yang objektifnya. Karena itu, izinkan saya mengerjakan tugas saya dulu. Sebelum hari berubah tanggal.
No comments:
Post a Comment