dhz tweets fb dhz dhz on pinterest dhz g+ dhz socmed dhz blogs dhz is ... Home Home Image Map

Sunday 30 September 2007

THR, kemana kau kuposkan?

Berkah dan rahmat Allah begitu banyak turun di Ramadhan setiap tahun. Rasanya semua orang setuju bahwa Tunjangan Hari Raya atau THR adalah salah satu berkah Ramadhan yang tak terelakkan. THR dari atasan, meskipun tak sebanding dengan THR berupa hidayah dan rahmat dari Allah SWT, tetaplah bisa melenakan dan membuat sebagian orang pusing dan bingung. THR-nya mau diposkan di mana ya?

Pusing, karena seakan rob Bill to pay Paul. Gali lubang tutup lubang. Uang THR-nya habis untuk bayar hutang. Sedangkan kebutuhan lebaran *baik yang sangat penting sampai yang tidak penting* belum sempat dijamahkan dengan uang THR. Jadi gimana nih? Ya begitu lagi, rob Bill to pay Paul. Sedih. Tunggu gajian bulan depan lagi baru bisa hutangnya lunas.

Bingung, karena rumah belum di cat. Jendela dan pintu harus segera diganti. Karpet umurnya udah menahun banget. Belum lagi pagar depan yang mulai berkarat. Waduuuh, yang mana duluan ya? Dinding ruang tamu juga sudah mulai mengelupas cat dasarnya. Belum tentu nih THR-nya cukup.

Pusing lagi, anak ada 3, semuanya minta baju baru dan sepatu baru. Istri ada 1. Walaupun satu-satunya, tapi minta budget buat panganan untuk lebaran nanti, lebih dari 1 jenis. *Kasian banget si suami ya?*. Aaaargh, ga usah dapat THR aja supaya ga pusing!

Ya ampuuun. Apa ada ya kepusingan dan kebingungan seperti itu terjadi di dunia nyata tanpa saya pernah melihat langsung kejadian sebenarnya?

Ya udah deh. Daripada pusing mikirin THR, lebih baik untuk semua yang sudah dapat THR, ayo segera sedekahkan 2,5% untuk yang berhak. Sesudah memberi kepada yang berhak, maka poskanlah dengan tenang dan tidak terburu-buru. Hati-hati, THR bisa menjadi sumber bencana jika kita tidak bijak menyikapinya! *Blebh, kayak kampanye apaan gitu ya hehe*

THR --> Tanggungan Hidup Rakyat

Bulan Ramadhan disambut dengan penuh sukacita. Karena Ramadhan mengandung banyak keistimewaan dari Allah. Keistimewaan malam tarawihnya sudah pernah saya singgung di blog ini. Pun barangkali, keistimewaan lain tentang bulan Ramadhan sudah seringkali disinggung di forum-forum lain sehingga saya rasa tak perlu lagi saya paparkan secara merinci tentang istimewanya dan ajaibnya bulan Ramadhan.

Namun, perbolehkanlah saya singgung satu hal yang tak boleh dilupakan dan tak akan dilupakan semua karyawan di setiap pertengahan bulan Ramadhan. Tiga kata indah berjudul THR, Tunjangan Hari Raya. Tapi, mengapa judul di atas menjadi Tanggungan Hidup Rakyat? Mari kita bahas, yuk...

Berawal dari tanda tangan sana sini yang membuat saya tergelitik untuk membahas tentang THR. Mampir ke sini, ”Mbak Dini, tanda tangan dulu”. Di SMSi, ”Dini, ke sini untuk tanda tangan beramplop ya”. ”Tanda tangan di sini, yang ini buat jajan”. Kira-kira seperti itulah. Berlanjut pada beberapa perbedaan nominal besarnya THR dan jangka waktu bekerja di sebuah lembaga, sehingga saya ingin sekali menulis tentang THR.


Seorang teman, bekerja di lembaga yang sama dengan saya, belum genap 3 bulan, mendapatkan nominal yang sama untuk ’uang jajan’ dengan nominal yang saya dapatkan. Seakan saya ini adalah seorang hamba Allah dan karyawan suatu lembaga yang tidak pandai bersyukur, namun rasanya patutlah saya sedikit kecewa dengan ’keadilan’ yang terjadi dalam ’lembaga menyenangkan’ tempat saya bekerja. Apakah saya akan menganiaya pikiran saya sendiri jika saya berpikir bahwa pemilik ’lembaga menyenangkan’ tersebut menganiaya saya (lagi)? Kata orang-orang, kita harus bersyukur. Dizholimi terus-terusan juga bersyukurlah, dan berdoalah maka doa Insya Allah terkabul. Apalagi di bulan penuh berkah ini.


Nah, maka bertanya-tanyalah saya dalam hati dan kepala. Apakah nominal ’uang jajan’ tersebut didasarkan pada tanggungan hidup rakyat sehingga diberi nama ’Uang Jajan’ bukan THR? Atau masih belum siap berjalan sebagai sebuah lembaga sehingga tidak bisa memunculkan THR yang sungguh-sungguh Tunjangan Hari Raya atas dasar pertimbangan Tanggungan Hidup Rakyat yang semuanya belum menikah dan belum akan menafkahi anak istri serta diri? Rasanya sih seperti itu. Karena kalau dilihat-lihat, saya dan semua teman disamaratakan tanpa dipandang status panjangnya jangka kerja di ’lembaga menyenangkan’ tersebut. Lagi-lagi, saya yang merasa dizholimi ya?


Tapi sudahlah. Kenapa jadi tidak bersyukur begini? Lagipula bukan itu fokus Tanggungan Hidup Rakyat saya di tulisan kali ini. Ada hal lain yang lebih menarik lagi untuk dibahas, masih tentang THR, Tunjangan Hari Raya yang menyenangkan dari lembaga-lembaga lain yang jauh lebih menyenangkan dan menjanjikan. Tidak di halaman ini. Ayo pindah ke halaman baru.

Poem


I read aloud my poem in front of the rest of the class in today poetry class. I wrote it this dawn, about 1 pm. My lecturer asked us to write a pray, then I wrote it, purely from my mind.


Pray, I do the prayer.

I say the pray every single night, every single day to You, my Lord.

The first thing to hope from You is making me as a thankful sleeve.

A thankful woman to be able in expressing this gratitude.

That You’ve given me such a nice thing names family.

That You’ve given me a priceless thing names friendship.

That You’ve given me so much responsibility.

Then You gather them into one and let them in me to keep.

Sometimes I can’t set myself to be humble

I state my wishes but I gabble

Eventhough understanding my heart You are able

However, I shouldn’t make my pray as a gamble

I was ignorant, and am!

Please, slap me God. I deserve for it.

Spread me out from this world just gimme a bit.

I still need to be thankful. That is my aim.

No applause, tough. Just a bit ‘ehem’ from some friends before reading my poem aloud. Anyway, the poem above is really pure from me, about myself, absolutely me, not whoever.

Saturday 29 September 2007

Koperasi atau Organisasi?

Berorganisasi di kampus memang begitu menyenangkan. Mahasiswa yang tidak berorganisasi atau sekedar kuliah saja dianggap tidak memanfaatkan ’masa emas’ mereka. Setuju, saya sangat setuju. Saya sendiri berorganisasi dengan sangat bahagia di kampus tercinta. Organisasi membuka jalan pikiran kita. Organisasi membimbing mahasiswa menjadi lebih kritis di kelas, namun tetap beretika. Organisasi menjadi jalan tempat mahasiswa beraspirasi saat ada hal-hal janggal terjadi di kampus. Nyaris, organisasi menjembatani segala sesuatu yang berhubungan langsung dengan ’dunia atas’ (baca: jurusan, fakultas, maupun universitas). Bahkan, organisasi pula lah yang menjadi media awal diletakkannya aspirasi rakyat kecil menjadi sebuah konsiderasi yang layak dipertimbangkan.


Di dalam sebuah organisasi, sejauh yang saya jalani, saya mengenal apa yang disebut sebagai Ketua atau Direktur, Sekretaris, Bendahara, beberapa Manager Divisi dan staff divisi tersebut. Di organisasi yang lebih tinggi lagi, seperti BEM, saya mengenal Presiden, Wakil Presiden, Sekretaris Kabinet, dan jabatan-jabatan lain yang tak berani saya sebutkan di sini.


Saya yakin bahwa semua organisasi kampus di seluruh Indonesia, bahkan seluruh dunia, pasti memiliki visi dan misi. Organisasi yang baik, menurut senior saya ketika upgrading pengurus organisasi himpunan kampus, harus memiliki tujuan yang jelas. Harus ada visi dan misi yang satu. Visi dan misi yang menyatukan persepsi dari kepala-kepala berbeda. Visi dan misi yang dapat mengembangkan organisasi kampus, bukan menumbangkan!


Sayang sekali, tragis barangkali ketika menemukan sebuah organisasi malah hampir tumbang akibat terlalu mengedepankan ’prinsip kekeluargaan’ di dalamnya. Kata ’kekeluargaan’ mengingatkan saya pada pelajaran kelas 2 SMP, tentang Koperasi. Koperasi artinya terbukanya akses dan kesempatan anggotanya untuk meminjam uang dengan jumlah tertentu, dengan aturan yang jelas, dengan deadline yang dapat dipertanggung jawabkan. Itu KOPERASI. Namun jika organisasi? Apakah ’kekeluargaan’ yang diusung mewakili hati beberapa anggota untuk meng’koperasi’kannya?


Sangat bagus sekali jika kalimat ’dengan aturan yang jelas’ dan ’dengan deadline yang dapat dipertanggung jawabkan’ versi Koperasi bisa dipatuhi. Yeah, harapan tinggallah harapan ya barangkali? Benar-benar hanya harapan. Tema kekeluargaan yang bisa dikedepankan sebagai ’dalil’ untuk memunculkan sense of belonging antar anggota malah dijadikan ’dalih’ untuk hal lainnya. Saya sungguh bingung! Dan tentu saja sedih.

Kekeluargaan dalam berorganisasi itu perlu. Bahkan, seperti yang saya singgung, tema kekeluargaan bisa memicu munculnya sense of belonging bagi pengurus organisasi. Bayangkanlah sebuah organisasi yang sudah seperti keluarga sendiri. Hangat dan aman di dalamnya. Menyenangkan dan tidak ingin keluar darinya. Namun, kekeluargaan yang setengah-setengah dan sekedar menaruh idealisme untuk kepentingan sendiri rasanya tidak pantas ditempatkan di organisasi yang ingin dimajukan *katanya*. Haruslah benar-benar kekeluargaan yang fair untuk diimplementasikan dalam organisasi. Bukan kekeluargaan dalam moment tertentu saja. Omong kosong!


Saya berharap penuh untuk putusnya mata rantai otorisasi dari pihak yang tak bisa menyatu secara hati dan aspirasi. Carilah titik tengahnya. Berikan kesempatan untuk bersama menyampaikan apa yang ingin dicapai. Dengan hati yang lapang, bukan dengan emosi.

Thomas Alfa Edison

Dia adalah penemu bohlam, begitu dibanggakan semua lapisan masyarakat yang pernah mengenyam bangku pendidikan, baik formal dan non formal. Thomas Alfa Edisonlah yang membuat manusia saat ini ‘keluar dari kegelapan’. As our beloved prophet Mohammad SAW who has already brought us from the darkness into the lightness. Bedanya, kalo Nabi Muhammad membawa kita pada ‘keterangan’ dalam arti terang yang benar-benar menerangkan jiwa dan raga, sedangkan Alfa Edison membawa kita pada ‘keterangan’ yang tidak pasti!


Kenapa? Yeah, sangat terasa sekali ketidakpastian sesuatu yang berharga yang dinamakan ‘terang dari sebuah lampu’ di kota Pontianak tercinta ini. Lagi dan lagi, akibat sesuatu dan lain hal yang harus dimaklumi oleh masyarakat awam ini, kita meraba dalam gelap selama sekitar sekian tahun belakangan ini. Entah bagaimana harus menumbuhkan rasa senang dan terima kasih untuk Thomas Alfa Edison yang sudah menemukan bola lampu dengan gilang gemilang dalam kondisi seperti sekarang ini. Jujur, saya sebenarnya sudah lelah berada dalam kegelapan yang terjadwal dari pihak berwenang (dalam hal ini, siapa lagi kalau bukan PLN).


Dari pihak PT. PLN Persero sudah memberikan konfirmasi bahwa ada kerusakan terhadap ini dan itu dan entah apa itu namanya yang membuat keberadaan listrik (artinya, tidak hanya sekedar penerangan saja yang terganggu, tapi juga pendinginan *kulkas maksudnya*, penyegaran mata untuk nonton TV, dan terutama penyejukan dari AC maupun kipas angin) di Pontianak tercinta ini terhambat sampai dengan pertengahan oktober nanti. Artinya, masih sekitar 2 minggu lagi. Yah, bertahanlah untuk hidup beberapa saat tanpa listrik. Nantikan kejutan-kejutan menarik dari PLN ketika kita sedang nyaman beraktivitas, tiba-tiba lampu padam. Tolong dimaklumi wahai rakyat biasa!

Wednesday 26 September 2007

I LOVE MY FATHER TODAY


Bapak saya: ”Alhamdulillah, pulangnya sebelum magrib juga kamu hari ini.”
Bapak saya: ”Kamu tu harus ya ngajar sampe malam jam 9 gini? Sekali ngajar dibayarnya berapa? Sini biar bapak yang bayar, tapi kamu jangan ngajar malam lagi.”
Bapak saya: ”Malam minggu nanti jangan ngapa-ngapain ya! Kita makan di tempat biasa.”
Bapak saya: ”Kamu berdoa apa setiap hari? Gimana mau dikabulkan subuhnya aja telat segitu.”
Bapak saya: ”Udah gajian? Sini bapak masukkan ke rekening kamu.”

Suatu sore

Saya: ”Pak, ada cowok cakep pak, taat, Islam, tipe saya banget pak. Doain dia jodoh saya ya pak”

Bapak saya: ”...........”

Saya: ”Pak, denger ndak sih?”

Bapak saya: ”Iya. Kalo jodoh tak kan kemana”

Sore yang lain

Saya: sms [pak, isiin pulsa 20rb donk. Sekarat nih, hampir ga bisa bernafas]

Few minutes later: 222 [Anda melakukan pengisian ulang sebesar Rp. 20.000. Berlaku s/d 30/09/07]

Saya: sms [Wah, bapak ebat. Isiin saya pulsa, hehe. Makasi makasi. Luphyuw mwamwa]

Suatu pagi

Saya: ”Bensin motornya kayaknya cuma bisa dipake sampe depan gang aja tu pak”

Bapak saya: (tidak berkomentar, tapi mengambil kunci motor)

Few minutes later: bensinnya tiba-tiba penuh.

Bapak saya: ”Bensinnya udah penuh. Full teng loh.”

Saya: ”He eh, iya makasih. Nanti diganti” (tapi ga tau nanti versi saya itu kapan hihi)

Suatu pagi, siang, sore, dan petang

Saya: ”Paaak, motornya ndak bisa keluar. Toloooong”

Bapak: (bergerak, keluar kamar. Bergegas ngeluarin motor untuk satu-satunya anak perempuan paling 
cantik ini à soalnya adik saya laki semua). ”Baliknya jangan lama”

Saya: ”Iya, kalo laper pulang kok pak. Tenang ajaaa”

Suatu malam:

Saya: ”Pak, flesdisnya yang kemarin udah rusak”

Bapak: ”Ya beli baru. Kan waktu itu udah dikasi uang untuk beli flesdis baru”

Saya: ”Hehe *biggrinning*. Masa ga ngerti saya sih pak. Kan uangnya udah nyampur sama uang jajan”

Bapak: ”Beli pake uang sendiri lah.”

Saya: ”Yaaaa, mana ada duit. Minta flesdis bapak aja yang itu ya (ngambil flesdis di meja)”

Bapak: ”Ndak boleh. Itu baru beli kemarin”

Saya: ”Pinjem, pinjem”

Dan sampai sekarang, flesdis itu masih ada dalam dompet Monokuro Boo saya. Dipinjam, dalam jangka waktu entah sampai kapan.

Suatu subuh
Bapak saya: ”Bangun, katanya kemarin minta dibangunkan sahur”
Saya: ”............”

Bapak saya: ”Berapa kali sudah kamu ndak sahur. Bangun, hoi bangun”
Saya: ”ngantuk.... Ga mau sahur aja”
Magrib ini
Saya: ”Pak, Al Qur’an kecilnya untuk saya ya?”

Bapak: ”Kan udah banyak Al Qur’an kamu di kamar”
Saya: ”Yah, kan yang ini kecil pak. Yang di kamar kan gede-gede pak, ndak portable. Kan yang ini bisa dibawa kemana-mana pak. Jadi bisa dibaca di kampus pak.”

Bapak: ”Ya, dijagai yang baik. Itu dikasi sama teman dari Madinah soalnya.”

Saya belum pernah dimarahi sama Bapak saya seperti Ibu saya ngomelin saya. Mungkin karena Bapak adalah laki-laki, jadi kurang suka ngomel. Bapak lebih suka menegur saya dengan tajam, akurat,dan sangat mengena. Bapak menegur saya dengan membawa beberapa evidence yang tak bisa saya sangkal. Bapak menegur saya tanpa saya bisa berkutik membalas tegurannya. Gimana mau dibalas, ketika menasihati, bapak saya suka mengutip hadits sama ayat AlQur'an. Mau jadi durhaka plus plus emangnya...

Tapi begitulah Bapak. Sedikit bicara, banyak guraunya. Apalagi kalau sudah jelang akhir pekan. Bapak akan membatalkan rencana jalan akhir pekan kalau saya tidak ikut serta dalam rombongan. Atau, Bapak pasti membungkuskan makanan untuk saya saat pulang ke rumah. Makanan untuk wanita paling karir di dunia, kata Bapak. Ampun dah. Siapa yang wanita karir? Kayaknya saya lebih banyak tidur siangnya daripada di rumah. Mungkin, karena intensitas ngobrol sama Bapak sangat jarang, maka Bapak pikir, saya sangat sibuk di luar untuk bekerja.

Bapak memang baik. Tapi Bapak juga manusia. Meskipun Bapak baik, tapi Bapak bisa juga salah. Kan Bapak juga manusia.


Anyway, judul tulisan ini akan saya baca setiap hari. I love my father today, tidak perlu I love my father everyday. Cukup today, namun saya akan baca setiap hari.

Tuesday 25 September 2007

SUBJEKTIF YANG OBJEKTIF

I have not finished my assignment at all. My own assignment is left behind. I promise I’ll do it after finishing this writing.

Pyuuuwh, akhirnya dapat tugas kuliah juga. Betapa bahagianya dapat tugas lagi. Bisa bereksperimen dan bermain-main dengan tugas kuliah, senang sekali. Meninggalkan beberapa kewajiban yang tidak wajib, demi sebuah tugas kuliah. Sebuah tugas kuliah, demi seonggok nilai di score list, terpampang indah: A. Sebegitu berartikah sebuah ”A” untuk anak-anak kuliahan?

Baru saja sore ini saya bicarakan masalah ini ke salah satu murid saya. Jangan belajar untuk mengejar nilai. Pikirkanlah prosesnya. Kalau kita mengerjakan sesuatu dengan niat ikhlas untuk mendapatkan pengalaman, maka kita akan rasakan proses yang bermakna dalam memahami apa yang kita kerjakan. Ketika tiba saatnya hasil kerja kita akan diberi nilai, kepuasanlah yang akan kita dapatkan. Kira-kira, seperti itulah isi dari nasehat saya kepada murid saya tadi. Apakah saya sendiri sudah seperti itu ya?

Saya rasa, iya saya lebih suka proses daripada hasil. Sungguh, saya tidak menafikan diri bahwa saya sangat benci melihat skor “C” yang ada di transcript nilai saya saat semester 1. Nilai C yang entah datang darimana. C untuk sebuah mata kuliah yang saya yakin saya sangat kuasai, namun (barangkali) jatuh ketika jelang ujian akhir. Masya Allah. Apa saya sebegitu mengejar nilai? Tentu saja tidak. Saya bisa rasakan proses ‘pengerjaan’ keseriusan saya terhadap hampir semua mata kuliah. Mengapa saya nyatakan ‘hampir semua’? Ya, karena memang tidak semua mata kuliah bisa saya seriusi. Beberapa dosen seakan menuntuk untuk tidak terlalu serius dengan mata kuliah yang diajarkannya.

Sekedar melihat nilai B saja, kadang hati saya agak sedikit kesal dan ingin marah. Kenapa saya bisa dapat B untuk sebuah mata kuliah yang saya yakini saya sanggup meraih A untuk itu? Setelah melihat deretan detail nilai, ternyata saya jatuh di Ujian Akhir Semester. Kuota nilai untuk UAS adalah 40%, tertinggi dari kuota untuk nilai lainnya seperti Ujian Tengah Semester, tugas terstruktur dan aktivitas harian. Betapa menyebalkannya menyadari bahwa saya adalah salah satu mahasiswi yang aktif beropini, bertukar pendapat, dan tentunya mendengarkan pada saat proses perkuliahan berlangsung, namun perhakiman nilai didasarkan pada satu helai kertas yang sebagian soalnya tidak dibahas secara menyeluruh di perkuliahan. Kasus lama, yang sebenarnya tidak saya permasalahkan lagi. Saya cukup puas dan bersyukur bahwa ternyata skor B tergolong ’lumayan’ dibandingkan C atau D.

Maka, inilah pelajaran untuk saya dalam memberikan point atau nilai kepada murid-murid saya nanti. Bahwa ketika saya menjelaskan, ketika kalian paham apa yang saya jelaskan, ketika kalian menghargai penjelasan saya, maka itulah yang akan menjadi nilai akhir kalian. Mau tidak mau, proses subjektivitas terjadi dalam penilaian. Tentu saja, dengan subjektivitas yang tanpa kandungan sentimen pribadi, dia adiknya teman, atau dia rajin dengerin saya siaran. Tidak, bukan subjektivitas seperti itu. Saya menganggap bahwa subjektivitas yang saya terapkan dalam penilaian ini benar-benar OBJEKTIF dan bisa dipertanggung jawabkan.

Barangkali, repot yah untuk memberikan penilaian subjektif yang objektif kepada ribuan murid Indonesia saat ini. Wajarlah jika kemudian ke depannya masih banyak kita temukan orang-orang yang pintar di atas kertas, namun terlihat agak kaku di lapangan. Atau, wajarlah jika beberapa tahun terakhir kita temukan, beberapa siswa yang diprediksikan tidak lulus, namun lulus ujian akhir dengan nilai gemilang. Dan juga, wajarlah jika masih ada saja siswa-siswi berprestasi yang berpotensi luar biasa, namun terkesan biasa-biasa saja dengan indikator nilai di lembaran ijazah yang sebenarnya sangat tidak mewakili apa-apa.

Saya bersyukur, tugas kuliah yang akan saya selesaikan setelah ini akan dinilai oleh seorang dosen yang memberikan penilaian subjektif yang objektifnya. Karena itu, izinkan saya mengerjakan tugas saya dulu. Sebelum hari berubah tanggal.

Monday 24 September 2007

Ngabuburit

Today, I think that I lost my ‘chance’ to have one, again and again. Am I cursed? Yeah, I am cursed coz I do not really implement the way of being PATIENT! I am not a good sleeve to be patient waiting my turn having one to lie down and share all the things I wanna share. Be patient, always be the answer, and always be the solution but without any specific implementation.

Today, I spoke by myself *actually not by myself, but because I have no friends accompanied me broadcasting this afternoon, so it’s my real fun job to speak by myself in front of the microphone* talking about Ngabuburit Zone. Sound so cool, right? Putting word ‘zone’ after a terminology comes from Bandung looks so great, I think. At first, I wonder where the word ‘ngabuburit’ from. After one of my loyal listeners called, we had a bit long dialogue on the air; he told me that ngabuburit is from Bandung.

Today, I tried to find the definition of ngabuburit. I browsed http://www.google.com/. Typed the keyword: define:ngabuburit. No data found. Well, what is ngabuburit actually? Just this afternoon, I defined it as activity that people usually do while waiting for breaking their fasting. I found no terminology in English stating about ngabuburit. So, with my pleasure, I named the topic today: NGABUBURIT ZONE ehehehe.


Where ya favorite place to spend before breaking your fasting? What ya usually do in the favorite place?


I really have no idea to share with, actually. I still feel that it’s not really Ramadhan. Stupid me. Pathetic me. Cursed me. Yea, I am cursed.

reunion

I have passed the unforgettable twenty second september. It’s been 23rd, sharp 12:00 AM! However, I still feel that I am in 22nd for I love this date so much.

Yeah, yesterday I gathered in high school class reunion. It’s the second after last reunion. Thanks God because it was much more interesting than before. I can speak up my opinion in front of my akhwat friends. We discussed many things. So many things till we talk about Harry Potter, Ayat-Ayat Cinta, Orang Kebenaran *a name from one of my friends for those who set them exclusively in long veil at her campus*, flashback, really so many things we talked.

I was a bit hypocrite setting me in that situation, I think. In one session of discussing, i was not me I think *now, I realize that I shouldn’t have done it*.

Just wanna fill in my need tonight. No special thing to write thus.

Sunday 23 September 2007

Fuctuated Feeling (revised)


Life is running like clockwork!
Among confusing, exciting, disappointed, unintended,
Unconditioned but predictable adoration are situated.
They all come at once. Fluctuate this feeling indeed.

My Lord, the greatest God,
Maybe this soul is just too tired.
I think this soul does need important thing name AFFECTION.
Even from myself. Oneself as well.
I am willing to get an extra ordinary affection in the right place.
I need to love me. Make it enjoy
Make me feel that I am valuable
I am priceless enough as human being
I am still a woman who still exists
In this clockwork running life!


That’s why, my Lord…
Send me one to lie down
To let out this frown
To astonish me that I also need my head to put a crown

Saturday 22 September 2007

so small world


Apa saya ini ditakdirkan untuk jalan sendirian ya kemana-mana? Sejak tamat SMA sekitar 2 tahun lalu, dan sahabat saya pergi meninggalkan saya ke Surabaya *tepatnya studi, bukan meninggalkan dini!*, saya merasa sepi dan sendiri. Iya, soalnya semasa SMA, setiap kali saya ingin jalan-jalan, ke mana saja bahkan sekedar jalan tanpa tujuan sekalipun, selalu ada orang yang saya hubungi untuk temani saya jalan-jalan.


Setahun sesudah masa SMA, sebenarnya *atau lebih tepat seharusnya* masih ada yang bisa temani saya, beberapa orang teman dan satu orang spesial *waktu itu, yang sekarang sama sekali tidak ada bekasnya* untuk temani saya jalan-jalan seperti tadi. Namun, dengan adanya ketidakpedulian dan kesibukan luar biasa pada mereka, maka waktu yang pas untuk hang out bersama pun sama sekali tidak bisa sering-sering direalisasikan.

Apalagi sekarang ini, dua tahun sesudah masa SMA, seiring dengan mengalirnya tumpukan kertas-kertas berisi jadwal aktivitas teman-teman, semakin merenggangkan hubungan intim yang hanya terjadi dalam ruang kuliah saja. Untunglah, saya sudah sedikit terbiasa dengan nikmatnya jalan-jalan ke Mal sendiri. Tidak ada shopping advisor untuk ingatkan saya yang seringkali kalap melihat coklat-coklat bertaburan di ujung mata. Siapa yang tahan melihat coklat putih yang cantik melambai-lambaikan tangannya ke arah saya?

Yeah, memang kadang lebih enak kalau jalan-jalan itu sendirian saja. Bebas mau melangkahkan kaki ke counter apa saja, tanpa takut ketinggalan temen atau kehilangan jejaknya. Ngga repot sms atau telpon untuk klarifikasi saya ada di sini atau dia ada di situ. Lebih bebas berekspresi. Hanya saja, saya jadi agak sedikit capek karena harus jinjit dan sedikit melompat untuk ngambil baju yang di gantung di tempat lumayan tinggi. Mau minta tolong sama pramuniaga, ga enak juga karena mereka sedang ngerumpi. Saya kan bukan tipikal orang yang suka merusak kesenangan orang lain.

Merusak kesenangan orang, artinya DENGKI. Itu tema yang dibahas saat saya siaran tadi. Narasumbernya tadi minta anterin pulang ke rumahnya. Subhanallah, dunia ini luas, tapi isinya saling berkaitan sehingga saya merasa ”WORLD is SO small, narrow”. Kisarannya hanya di situ-situ saja. Nah, jadi sesudah saya anterin pulang sampai ke rumah, ternyata rumah itu juga rumahnya teman SMP saya yang dulu pernah dekat. Ya ampun, si mbak narasumber ternyata kakaknya temen saya waktu SMP. Seorang teman SMP yang bahkan sampai hari ini saya masih bisa ingat tanggal ulang tahunnya dan nomor telepon rumahnya!

Dunia ini terkadang memang terasa itu-itu saja isinya. Entah isinya itu-itu saja atau saya yang cukup terkenal *halah, narsis atau kepedean nih?*, yang pasti ke mana pun saya injakkan kaki di bumi khatulistiwa tercinta, selalu saja ada teriakan panggilan nama, nostalgia, atau sekedar sapaan ’halo’ ’hai’ atau ’masih hidup ya kamu?’ dari beberapa orang yang saya kenal dan mengenal saya. Atau, ketika terjadi proses belajar mengajar di kelas dengan murid-murid tercinta, adaaaa aja kaitannya dengan cerita lama seperti kakaknyalah yang temen saya, muridnya bapak saya jugalah, atau bahkan adiknya mantan pacar saya! Deuh, dunia... dunia...

Jangan-jangan, pembaca blog saya ini juga ada yang masih keluarga ya sama saya? Hihi. Mungkinkah Mba Mitra a.k.a Mitora in Life ternyata adalah tante ipar saya? Atau Kak Diar a.k.a cocoa addict rupanya cucu dari adiknya sepupu kakek saya? Hmmm, barangkali mas Koz pernah menjadi salah satu keponakan kesayangan tetangganya paman saya? Apakah masuk akal jika ternyata pohon keluarga (family tree kan bahasa Inggrisnya?) di buat komplit, lalu saya menemukan nama-nama Hayazidie, Puspa Hanandhita, Jengkolholic, Sani, Kang Asep, Chalid, Ucup, dan nama lainnya *yang tak tertuliskan* di deretan family tree tersebut?

Kita semua adalah anak cucu adam. Maka, dengan bangga saya menjawab: Mungkin saja kakek anda, wahai pembaca, pernah berpacaran dengan keponakannya buyut saya!

Biarkanku sejenak

Letto – Sejenak

Sebelum waktumu terasa terburu
Sebelum lelahmu menutup mata
Adakah langkahmu terisi ambisi
Apakah kalbumu terasa sunyi

Chorus:
Luangkanlah sejenak detik dalam hidupmu
Berikanlah rindumu pada denting waktu
Luangkanlah sejenak detik dalam sibukmu
Dan lihatlah warna kemesraan dan cinta

Sebelum dirimu terhalang nafasmu
Sesudah nafsumu tak terbelenggu
Indahnya membisu tandai yang berlalu
Bahasa tubuhmu mengartikan rindu

Dan tak semu yang tak semu...
Dan tak semudah itu.



Tidak sengaja menuju lagu ini ketika saya mainkan semua daftar di playlist album Letto terbaru, Don’t Make Me Sad, sampai ke track 10 di album ini. Lirik pembukanya mengingatkan saya pada Firman Allah SWT, Q.S Al Ashr: 1 – 3 yang pokok isinya adalah Semua manusia berada dalam keadaan merugi apabila dia tidak mengisi waktunya dengan perbuatan-perbuatan baik.

Lirik berikutnya benar-benar kena untuk hati yang saat ini kosong, benar-benar sunyi. Ditambah dengan keinginan untuk segera mendapatkan ambisi-ambisi duniawi yang membuat manusia lupa untuk mengerjakan hal-hal pemenuh dahaga jiwa dan hati yang hampir mati. Bagian reffrain lagu ini tidak terlalu implisit untuk dimengerti. Liriknya tetap harmoni dan penuh arti. Khas letto, terutama Noe yang mendominasi lirik-lirik mendalam dan penuh makna.

Irama musik lembut pengiring lirik bagian yang terakhir juga memiliki pesan yang kurang lebih sama dengan lirik awal. Saya tidak cukup berani untuk mengartikannya. Hanya sedikit menyesuaikan lagu ini dengan situasi pribadi, sehingga lagu ini saya berikan 5 bintang untuk lagu ini, khususnya lirik, juga musik pengiring yang pas dengan pesan yang ingin disampaikan lewat lirik yang bermakna mendalam.

Friday 21 September 2007

si GAJAH

Gajah yang luar biasa besar, melebihi besarnya gajah normal yang sering dilatih di Sekolah Gajah Lampung. Bahkan melebihi kumpulan gajah-gajah di semua Sekolah Gajah itu, atau bahkan semua gajah di seluruh dunia ini. Gede banget ya kayaknya. Bahkan saya pun agak sedikit lelah memperhatikan tumpukan gajah yang tak henti-hentinya ada saja setiap hari. Oh my gajah, apakah judul blog ini juga nantinya akan diganti menjadi thegajah, bukan thekupu lagi?

Oh tidaaaaaargh. Saya tidak mau gajah-gajah itu menghantui saya!


Yeah, itulah jawaban semua manusia yang tidak ingin melihat gajah di pelupuk mata karena gajah itu dianggap menyiksa. Sedangkan semut di seberang lautan yang jauh di sana mampu menggelitik ujung kulit ari yang jari jemari sendiri pun tak bisa menggapainya. Hebat ya si semut! Pantesan kalau main sut-sutan *main apa sih itu namanya? Yang nentuin menang kalah pake jari telunjuk, kelingking sama jempol itu? Saya ga tau loh namanya*, jari kelingking yang disimbolkan sebagai semut dianggap menang jika yang keluar dari jari lawan adalah jempol. Dalam kisah sebelum tidur pun, semut selalu menang dibanding gajah.

Tapi itu bukan alasan untuk menyengaja diri mengobrak abrik sarang semut kan? Alasan yang sama sekali tidak logis untuk mengacak-acak rumah semut hanya untuk melihat mereka bahu membahu menggiring makanan yang beratnya bisa 10x tubuh mereka. Yah, boleh dilihat. Lihatlah. Tapi ambil hikmahnya, jangan ambil makanan yang digiringnya. Itu namanya rese’ *lama banget ga mengucapkan kata itu! WOW*.

Mari, kita semua, wahai para pengunjung blog saya tercinta, dan para pembaca yang meluangkan waktunya untuk blog thekupu ini, marilah biasakan diri untuk sedikit lebih perhatian pada gajah-gajah di pelupuk mata yang mulai menyiksa diri sendiri, dan hilangkan kebiasaan untuk mengobrak abrik, mengganggu dan mencampuri urusan dalam negeri si semut yang hidup tenang di sebrang sana. Pelajari ketenangannya saja.

Lampu Padam

Saya harus segera, batere laptopnya sudah mau habis, tapi saya masih ingin menulis nih. Hmm, untung saja laptop tetap bisa beroperasi meskipun lampu mati, alias PLN menggilir kompleks perumahan saya untuk menikmati nikmatnya gelap di bawah terang setengah bulan malam Ramadhan ke 7 ini. Alhamdulillah.

Fenomena mati lampu, atau bahasa bakunya adalah pemadaman bergilir dari PLN yang beberapa tahun belakangan sering terjadi bisa menjadi salah satu momen berharga untuk saya (dan keluarga, seharusnya) sebagai media bersabar. Apalagi, bulan Ramadhan kali ini, sekarang ini, pemadaman bergilir tetap konsisten dilakukan oleh pihak PLN mengingat kapastias yang menurut mereka tidak memadai untuk menghidupkan seluruh aliran listrik di daerah Pontianak tercinta.

Sedih sih. Tapi sepertinya saya sudah terbiasa dengan kondisi gelap-gelapan dengan terang yang remang dari sebatang lilin. Malah jadi cantik kalau saya capture gambar lilinnya pakai camera phone punya adik saya *berhubung handphone saya yang berkamera sudah meninggal dunia, jadi sekarang hanya bisa pinjam*. Lagipula, hari ini saya cukup bahagia melewati hari yang menyenangkan ini, sehingga kalau saya ngomel-ngomel artinya saya merusak kebahagiaan berharga ini. Sudah lama tidak sebahagia ini. *belakangan ini saya sering menggunakan gaya bahasa hiperbola ya? Atau ironi? Yang jelas bukan personifikasi*.

Sebenarnya, jauh dari lubuk hati saya yang juga seorang manusia, sangat ada keinginan untuk teriak, protes, dan marah-marah ke pihak yang berwenang dan bertanggung jawab dengan masalah ini. Namun, rasanya percuma saja. Harian Pontianak Post sepertinya setiap hari sudah nyindir-nyindir nyinyir fenomena menahun mengenai pemadaman bergilir ini. Salah satu program harian di Volare FM, Lepas Landas juga rasanya tiap kali saya dengar, yang hangat dibahas adalah kebiasaan pemadaman bergilir *yang teratur dan seringkali tidak teratur* oleh PLN. Saya tidak cukup kompeten untuk mengomentari masalah itu di sini.

Anyway, walaupun tidak kompeten, bagaimanapun juga, kejadian sekedar shalat tarawih di rumah akibat lampu padam rasanya tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak sedikit berkomentar. Wah, ga jadi deh. Baterenya tinggal 38 persen. *Meskipun sebenarnya bisa sih kalau saya berkenan. Hanya saja, nanti seperti melihat semut di seberang saja*. Hmm, cukup melihat semut, malam ini perhatikan si gajah saja!

Thursday 20 September 2007

Yes, I AM Ordinary

It’s been the middle of September, almost reach da last day of this month, I have been woken up, as I used to say: “Wake me up, when September ends.”

Seems like I found new and fresh spirit for going on my life today. The most encouraging key of speeding up this spirit is my surrounding. I am real a human being, just an ordinary human, ordinary woman will be. They are really extraordinary, making me feel that this existence is not just feeling which comes inside my mind.

I am really ordinary. I am not the master of my own field that I am dying in. I’m just really ordinary. Yes, I am ordinary. But if I find some people think that I am extraordinary, then it is appeared by their mind set. However, the beautiful mind set has been motivated me and moved up my spirit to keep being an ordinary one, really ordinary.

Wednesday 19 September 2007

Tarawih

Nostalgia itu kadang indah, kadang membuat menangis, kadang bikin mabok juga. Lama-lama, mabok juga saya nostalgia dengan 2 buah ketikan untuk hari ini saja. Let me tell ya a bit about doing tarawih prayer.

Today is the 6th Ramadhan, my 2nd day of doing the prayer. I am a bit confused about some people who actually still have valuable chance to do the prayer, but they do not do. I myself this evening, frankly speaking, felt a bit laziness to do. But for listening adzan, I felt I would be very guilty not going to the mosque.

However, sepulang tarawih tadi, saya menemukan fenomena menyedihkan. Sedikit heran dengan beberapa orang *tetangga saya, beberapa gelintir* yang secara geografis rumahnya sangat dekat dengan surau, bahkan bersebelahan, malah tidak melangkahkan kaki meringankan hati untuk tarawih malam ini. Tidak sekedar malam ini saja rasanya. Hampir tiap malam, bahkan hampir tiap tahun tarawihan. Bukannya mau usil dengan gajah di pelupuk mata yang tak tampak atau iseng nonton semut di seberang lautan, tapi saya hanya prihatin saja menyaksikan fenomena di depan mata tanpa bisa berbuat apa-apa selain doa.

Demi melihat fenomena itu, selain berdoa, saya juga bersyukur bahwa ternyata saya masih lebih mending dibandingkan orang-orang tersebut. Langkah kaki sebanyak kurang lebih 50 sampai 60 setiap kali menuju ke masjid mudah-mudahan bisa menjadi tambahan pahala untuk sedikit mengurangi degradasi yang sudah seringkali terjadi. Silaturrahmi sesudah tarawih juga semoga menjadi bagian dari pengurangan kesalahan yang sudah begitu banyak saya tumpuk.


Anyway, biar bagaimanapun juga, saya tetap tidak berani berjanji. Janji adalah hutang. Saya tidak terlalu suka berhutang.

NOT YET

Ketikan saya tanggal 17 Juni 2007:

..karena cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti orang mati, nyalanya adalah nyala api. Air yang banyak tak dapat memadamkan cinta, sungai-sungai tak dapat menghanyutkannya..

Maka, haruskan kita tenggelam ke dalamnya? Atau hanyut saja? Lewati sungai itu, dengan bahagia. Atau, biarkan sebuah perahu jadi tempat untuk menunggu? Lagi dan lagi, menunggu yang menyenangkan. Sungguh, menyenangkan. Karena banyak tiupan angin segarkan wajah sampai ke hati.

Should I go out?

Am I supposed to go out?

Or I must go out?

Or I have to go out?

But I’m willing to stay… I am serious asking… seriously, need a serious answer.

Eventhough can’t be one, but I do want to be the one.

The one can feel the LOVE, to stay tune on the LOVE.

Sure, I still dunno what to think and to do coz anything could be the answer.

But I absolutely know, far away, deeply inside this heart, maybe I never care that whatever the answer will be, I’ll stay myself to tune on the LOVE, although he doesn’t allow me to do.

I’m so much passionate, my friend told me that.

My eyes seem saying that I am passionate. I need truly deeply love.

It’s been a long time, it has gone…

no love, no je te’ ame.

I used to cry, I used to be sad, for something that I was not supposed to.

*I was stupid—and am!*

I dun wanna loose it twice. One is enough, and hurt.

But whole the words have cured me well.

Am I gonna be hurt, again?

Is it gonna be hurt? Or I’m gonna make it hurt, for me myself?

Am I that stupid to hurt myself? Answer by yourself!


Saya kangen dengan perasaan tersebut. Saya merindukan pemicu munculnya rasa “je t’aime” yang beberapa ratus ribu detik lalu sempat membuat saya seakan sedang ditiupkan angin segar.

Siapa sekarang yang akan memicunya? Manusia mana yang akan dengan senang hati bermain lagi dengan perasaan dan ambil risiko untuk satu hal yang tidak pasti? Siapa berikutnya yang akan menyakiti atau disakiti?

Di tengah perasaan yang sedang turun naik ini, yang saya perlukan adalah seorang yang tepat, hadir pada saat yang tepat, tepat untuk hati yang sedang kacau ini. Seorang yang hati ini juga bisa dengan senang hati menerima.


Seorang saja, yang bisa membuat saya merasa ‘hidup’ kembali.

Sungguh, cukup seorang saja untuk membuat saya tidak merasa sedang menyakiti diri sendiri.

Cukup satu, asalkan bisa memberikan perasaan nyaman yang seimbang untuk saling berbagi.

Belum saya temukan, sampai dengan hari ini.

HURT ME


Ketikan saya tanggal 1 april 2006:


Ada beberapa hal yang kadang terlalu berat untuk kita tinggalkan, tapi harus segera kita tinggalkan. Harus menunggu sampai kapan kalau bukan sekarang? Itu adalah kalimat yang sangat memotivasi. Namun, perlu kesiapan mental yang matang untuk membuat tekad yang kuat itu menjadi kenyataan. Mental yang belum matang akan rapuh di tengah jalan. Mental yang benar-benar bisa menerima, bahwa segala yang ingin kita perbaiki tak akan bisa langsung utuh. Diperlukan kesabaran, tak hanya ketika syiar untuk orang lain, namun juga untuk diri sendiri. Hanya dengan niat yang kuat, kesadaran yang tangguh dan tindakan yang meyakinkan yang membuat semua keinginan itu akan terwujud, tanpa rapuh di tengah jalan.

Saya masih ingat asbabun ketikun *hehe, maksudnya penyebab saya mengetik tulisan di atas* waktu itu. Saya ternyata termasuk salah satu korban ketidaksiapan mental saya sendiri untuk menyatakan bahwa “saya akan berubah, menunggu kapan kalau bukan sekarang?”, saat itu ujar saya. Saya berubah, iya sedikit. Apakah lebih baik? I do not really think so. Barangkali iya, ada beberapa perubahan berarti yang bisa saya rasakan sampai sekarang. Namun, secara tak kasat mata *bahkan oleh mata minus saya sendiri*, masih ada beberapa bagian yang terasa begitu kering dan mulai rapuh.

Sudah berkali-kali kejadian seperti ini. Ngomongnya mau berubah, tapi faktanya rapuh juga di tengah jalan. Bahkan di bulan penuh keajaiban ini, semangat yang berkobar-kobar tak kunjung muncul kembali. Saya bingung juga kadang-kadang. Mau diapakan sih saya ini? Fluktuatif sih fluktuatif perasaan ini. Tapi masa tiap kali feeling dan kadar iman lagi naik turun, yang drastis selalu degradasinya? Cape dan bosan. Padahal, kalau dirunut secara lebih mendalam, bukan siapa-siapa yang bermain dengan perasaan ini melainkan diri saya sendiri. Jadi, harus diapakan ya saya ini biar tidak rapuh di tengah jalan?

Cukupkah saya menjawab dengan: ”Waktu kan menjawab?” Itu jawaban basi, yang tentu saja akan memperlama proses. Atau, puaskah diri saya dengan berjanji: ”Saya bersumpah, saya akan berubah, segera berubah menjadi lebih baik”. Lebih baik yang bagaimana? Lebih baik menurut kaca mata siapa? Kalau dari kaca mata saya, mesti akan banyak rapuhnya. Mata saya minus, dan sepertinya minus ini semakin meningkat drastis seiring drastisnya penurunan perasaan tidak nyaman yang sedang saya rasakan.

Rasanya, proses akan semakin lama. Belum ada tanda-tanda ke arah perubahan yang lebih baik. Saya perlu disakiti lagi, sepertinya.

Tuesday 18 September 2007

FLUCTUATED FEELING


Life is running like clockwork!

Among confusing, exciting, disappointed,


Unintended, unconditioned but predictable adore, they all come at once.
Fluctuate this feeling.

Maybe this soul is just too tired.
I think this soul does need important thing name AFFECTION.
Even from myself.


I need to Love Me, make it enjoy,

make me feel that I am valuable and priceless enough

as human being who is still existing in this clockwork running life!

Monday 17 September 2007

Master of Ceremony

Barusan saya selesai sedikit beres-beres kamar. Ada banyak ketidakteraturan terjadi dalam kamar saya. Sudah seperti ladang kucing saja. Anaknya Eko 5 ekor sehat semua, alhamdulillah. Biasanya, kalau Potato melahirkan, mesti ada yang meninggal satu atau dua ekor. Kali ini, Eko yang notabene anaknya Potato, merasakan masa kehamilan dan ngidam aneh *suka snack manis waktu dia hamil*, kemudian melahirkan, waah anaknya lucu dan sehat semua. Sayang, mereka belum punya nama. Tolong dong, bantu kasi nama. Jangan lupa, masing-masing nama harus berfilosofi.

Nah, tulisan saya yang mengantarkan kita pada kisah kucing kan yang ini ya tadi? Kenapa saya jadi lancar banget ngobrolin kucing-kucing? Ya ampuuun. Padahal bukan itu yang ingin saya tulis. Tapi ga papa deh. Sekalian juga minta referensi nama untuk anak-anaknya Eko.

Yang ingin saya bagi sebenarnya adalah tentang beres-beres kamar itu tadi. Waktu saya bongkar kotak handphone saya, di dalamnya ternyata sempat saya taruh beberapa name tag dan kartu panitia sejak jaman saya SMA. Sebagian besar tertulis:


Nama : Dini Haiti Zulfany
Jabatan : Seksi Acara

Atau

DINI HAITI ZULFANY
MC

Hanya satu name tag saja jabatan saya tertulis sebagai Sekretaris I. Sisanya seksi acara, dan bisa ditebak, sayalah ’pemegang panggung’nya. Hmmm, menyenangkan sekali memegang kendali acara yang berlangsung. Acara belum mulai kalau MC-nya belum datang. Acara jadi agak sedikit garing kalau MC-nya kurang bisa menghidupkan suasana. Acara jadi berantakan kalau MC-nya ga bisa ngatur jalannya acara. Heuleuuuh, entah sudah berapa puluh tahun *ini hiperbola loh* saya tidak membawakan satu acara di gedung-gedung besar atau acara-acara penting baik resmi dan tak resmi yang dihadiri banyak orang.

Tapi, saya senang mengingat masa-masa dulu saya menjadi Pembawa Acara berbagai jenis event, mulai dari Farewell Party sekolah tanpa dibayar sampai Acara Wisudaan di gedung besar dengan bayaran di luar dugaan. Sekarang sudah tidak pernah lagi jadi MC. Selain belum ada tawaran, juga karena saya terlalu (sok) sibuk dengan beragam tempat kerja yang bikin saya pusing. Apa saya masih bisa ngemsi yaaa sekarang? Rasanya sih masih. Tapi belum dicoba lagi. Maka rasanya pula, saya masih perlu berlatih lagi.

Sudah dini hari 12:52 AM. Selamat dini hari.

Cerita Kucing

Tadi saya nonton satu program di Metro TV, kerja sama dengan dinas kesehatan. Pas pindah ke channel yang didominasi dengan berita itu, pas saya lihat seorang ibu yang baru saja melahirkan, bayinya diletakkan di atas dadanya, sampai akhirnya sang bayi berhasil ’menemukan’ haknya, ASI eksklusif. Saya jadi kepengen punya anak, soalnya bayi yang barusan saya lihat tadi lucu banget. Heuleuuh, dasar emosi ngga stabil. Baca novel kepengen jadi Rana. Nonton sinetron keinget kisah pribadi. Liat adegan sekilas gitu doank malah jadi pengen punya anak. Untunglah, Alhamdulillah saya masih bisa berpikir rasional sesudah menuliskan hal-hal yang barusan saya lihat. Menulis memang menyenangkan. Apalagi kalau tulisan dibaca orang dan dikasi komentar *ayo, yang udah baca tulisan ini dan ga kasi komen, artinya ga punya perasaan hehe*.

Barusan saya selesai sedikit beres-beres kamar. Ada banyak ketidakteraturan terjadi dalam kamar saya. Sudah seperti ladang kucing saja. Anaknya Eko 5 ekor sehat semua, alhamdulillah. Biasanya, kalau Potato melahirkan, mesti ada yang meninggal satu atau dua ekor. Kali ini, Eko yang notabene anaknya Potato, merasakan masa kehamilan dan ngidam aneh *suka snack manis waktu dia hamil*, kemudian melahirkan, waah anaknya lucu dan sehat semua. Sayang, mereka belum punya nama. Tolong dong, bantu kasi nama. Jangan lupa, masing-masing nama harus berfilosofi.

Bicara tentang nama-nama hewan, saya pernah membaca bahwa Rasulullah SAW juga menamai untanya. Dengan memberi nama pada binatang peliharaan, akan muncul rasa sayang dan rasa memiliki. Perihal nama menamai kucing *hewan peliharaan sebagian besar orang-orang cantik hehe*, saya sudah melakukannya sejak SMP. Saya masih ingat, kucing pertama yang mampir ke rumah saya dikasi nama Dudun. Waktu itu belum ada filosofi apa-apa. Yang menamai juga bukan saya, tapi salah satu keluarga yang kebetulan mampir ke rumah.

Ternyata Dudun adalah kucing yang cukup cantik, selain dia juga sangat pintar karena bisa buka kulkas sendiri. Beberapa kucing jantan naksir, dan dia dihamili sehingga lahirlah Misty, kucing jantan yang dikasi nama sama adik saya karena waktu itu dia lagi suka nonton kartun Pokemon. Konon, Misty adalah nama temannya pemilik Pokemon. Bagus juga, pikir saya waktu itu. Sekarang Misty sudah hilang entah kemana, sampai akhir hayat ibunya pun Misty tak kembali. Saya dan ibu saya nangis sesenggukan waktu melihat Dudun meregang nyawa. Bayangkan! Dudun wafat dihadapan saya dan orang serumah, hiks.

Sesudah Dudun dan Misty, kucing berikutnya yang mampir adalah Nudi. Nudi punya nama kepanjangan. Saya lupa apa nama lengkapnya. Adik saya yang kasih. Tapi Nudi terlalu nakal untuk bertahan lama di rumah kami. Anyway, dari benih yang dititipkan Nudi kepada entah kucing betina mana, lahirlah Potato yang sekarang sudah berkali-kali melahirkan. Potato saya namai karena waktu SMA dulu saya suka ngeliat iklan snack kentang Mr. Potato. Dari rahim Potato, lahirlah Dobby yang sejak awal tahun 2006 menghilang tanpa jejak. Fotonya masih ada di friendster saya kalo ga salah. Dobby, seekor kucing yang sadar kamera.

Meskipun Dobby sudah tidak ada lagi, Potato tetap bertahan di rumah kami. Potato cukup sopan dan tidak cerewet. Di kasi makan apa aja diem. Itu dulu. Sekarang dia sudah agak sedikit milih. Mungkin karena faktor usia. Kalo ga salah, Potato sudah 3 atau 4 kali melahirkan. Saya pernah melihat secara langsung proses kelahiran anak Potato. Saya masih ingat tanggalnya, 10 April 2005. Bertepatan dengan ulang tahun Bapak saya. Potato melahirkan jam 10 malam. Sesudah saya dan adik-adik nyanyi-nyanyi sambil potong kue ulang tahun untuk Bapak, saya kaget melihat Potato mengejan. Heuleuuuuh. Dia mau melahirkan. Saya bingung harus bagaimana. Jadi saya melihat saja. Dan memang, Potato ternyata tidak membutuhkan bantuan saya. Dia bisa melahirkan sendiri.

Luar biasa. Melahirkan 3 ekor anak. Saya belum berani menamai anak-anak Potato karena masih baru. Takut dikasi nama malah meninggal nantinya. Jadi, ketika sudah agak besar, ketika mereka sudah bisa melompat dan bermain-main, baru saya namai. Filosofi nama anak-anak Potato adalah dari bentuk ekor mereka. Eko, karena Ekornya bengkok. Bukan bawaan lahir, tapi karena kejepit pintu waktu adik saya mau tutup pintu. Lalu Ecil, karena ekornya kecil. Terakhir Epan, karena ekornya panjang. Epan sudah mati. Dia kena penyakit anoreksia kayaknya. Segala jenis makanan terenak untuk kucing sudah saya sodorkan, tapi Epan ga mau makan juga. Ya sudah. Mungkin sudah takdirnya dia mati dalam keadaan kurus begitu.

Sekarang, Eko sudah dewasa. Sudah bisa bikin anak. Yang menghamilinya saudara kandungnya sendiri, si Ecil. Tapi sebelum Eko melahirkan, Potato sempat 2 kali melahirkan. Ada 2 ekor anak, namanya Cicu dan Cuci. Filosofinya dari nama Cicu saja, kucing lucu. Sedangkan Cuci, kebalikannya Cicu. Tapi Cuci sudah mati. Lalu, sesudah Cicu dan Cuci, Potato melahirkan lagi. Ada 3 ekor anak. Saya belum sempat memberi mereka nama, tau-tau mereka *3 ekor kucing itu* sudah menghilang begitu saja. Potato sepertinya ga sayang sama mereka. Ga pernah dikasi ASI. Malah Cicu yang sudah gede disusuin terus sama Potato, bergantian menyusui anak-anaknya Eko yang 5 ekor itu. Nah, Eko sekarang anaknya yang 5 itu, disusui bergantian. Kadang Potato yang menyusui, kadang Eko-nya sendiri. Saya salut sama Potato, peduli cucu hehe.

Kalau Ecil sekarang sudah ga dekat lagi sama saya. Dia sering tidur di luar, di depan TV lantai bawah. Paling kalau saya sedang makan, baru dia nyamperin saya. Selain itu, Ecil seringkali diajakin berantem sama Nudi. Saya dan keluarga sebel sama Nudi. Suka mengganggu ketenangan rumah tangga kucing aja. Kasian Ecil, banyak luka-luka akibat diberantemin sama Nudi.

Demikianlah kisah kucing-kucing saya yang lucu-lucu. Saat ini, total jumlah kucing di rumah saya adalah 9 ekor. Mereka yaitu Potato, Eko, Ecil, Cicu, dan 5 ekor anak Eko yang sampai sekarang belum saya kasi nama. Sebagai informasi, warna bulu mereka lucu-lucu lho. 1 ekor berwarna kelabu, 1 ekor berwarna putih kuning, 3 ekor lainnya hitam keabuan. Semuanya lucu dan bandel. Setiap pagi garuk-garuk (baca: cakar) kaki saya. Nah, jika berkenan, tolong referensi beberapa nama untuk kucing saya yah. Thanks anyway.

Nb: untuk yang namanya mirip dengan nama kucing saya, mohon maaf sebesar-besarnya. Pemberian nama pada kucing saya murni karena suatu filosofi yang pas dengan keadaan yang sedang terjadi pada saat penamaan. Jika kurang berkenan, mohon diperkenankan.

Sunday 16 September 2007

Lagi-lagi EMOSI

Hari ini saya mendapat pinjaman buku dari seorang teman, buku Habiburrahman El Shirazy yang terkenal lewat novel Ayat-Ayat Cinta yang fenomenal itu. Kali ini, novelet yang berhasil saya pinjam adalah sebuah novelet pembangun jiwa berjudul Dalam Mihrab Cinta. Belum rampung saya baca novelet ini, baru sampai pada akhir cerita Takbir Cinta Zahrana. El Shirazy memang penulis hebat, bisa membuat saya merasa menjadi Rana dalam waktu 30 menit. *Hati saya membatin terus, akankah nasib saya akan seperti Rana dalam novel tersebut?*

Ibu saya berpesan, “Pilih suami jangan terlalu selektif, nanti nikahnya lama.”
Suaminya Rena, salah seorang sahabat saya berkata, “Bilangin Dini, jangan terlalu banyak kerja, nanti lama nikahnya.”

Om saya, salah seorang dosen matematika, Bapak Ahmad Yani meramalkan, “Kamu nanti nikahnya bakalan lama.”

Tante saya *yang sempat saya singgung beberapa kali di blog ini* berkomentar tentang jarangnya menemukan saya di rumah, “Din, coba jangan sibuk-sibuk banget sama kerjaan. Nanti lupa cari jodoh!”

Setelah membaca novelet tentang Dewi Zahrana karya El Shirazy, saya bercermin diri. Saya ini tidak sesalehah wanita cantik dalam novel itu. Saya ini tidak sungguh-sungguh ahli dan profesional dalam bidangnya seahli dan seprofesional tokoh Rana dalam novel itu. Saya ini tidak (baca: belum tentu) cukup beruntung untuk mendapat kesempatan pendidikan akademik setinggi pendidikan yang didapatkan Rana. Bagaimana mungkin saya berani membatin bahwa akhir kisah penemuan jodoh saya akan seindah Dewi Zahrana, M.T?

Sekarang ini Ramadhan, hari ke-3. Dewi Zahrana menikah dengan Hasan, seorang mahasiswanya ketika menjadi dosen, pada malam ke-2 di bulan Ramadhan. Momen yang pas, dengan sedikit khayalan yang memalukan. Novel ini sungguh mengingatkan saya pada empat kalimat kutipan dari orang-orang yang perhatian pada saya, terutama di kehidupan asmara *benarkan jodoh itu hubungannya ke ASMARA?*.

Jangan terlalu selektif, tidak terlalu sibuk bekerja, sibuk-sibuk banget sama kerjaan (dan pendidikan, sebagai tambahan) sehingga menyebabkan wanita jadi lama menikah. Jujur, sempat ada kekhawatiran juga tentang nikah ini. Apalagi, sampai sekarang, meskipun saya tidak menganut anti-pacaran yang fanatik, saya merasa tidak juga menemukan satu orang yang saya anggap cocok untuk dijadikan pendamping. Terlalu cepatkah saya memikirkan orang yang cocok itu? Apa ini hanya emosi yang muncul akibat membaca novel 4 jam yang lalu?

Ya, saya rasa belum waktunya untuk berpikir tentang orang yang cocok itu, entah siapakah orangnya, masih jadi rahasia Allah, setara dengan rahasianya maut dan rezeki yang sudah rahasia dari sejak saya lahir, yang bahkan saya sendiri pun tidak tau *namanya juga rahasia*. Maka, dini hari ini, saya sepakat dengan diri saya sendiri dan bersaksi, dengan ikhlas menyatakan bahwa saya masih terbawa emosi sesudah membaca karyanya El Shirazy. Luar biasa. Itulah sebabnya mengapa saya suka menulis juga membaca. Benarlah pendapat El Shirazy, bahwa membaca bisa membuat kita seakan mencium aroma darah di Palestina, mendengar suara tembakan di medan perang, dahsyatnya rasa rindu Majnun pada Layla, dan semuanya. Jadi, let’s close the case.

Biarlah saya tetap menjadi orang yang seakan-akan terlalu sibuk bekerja, susah ditemui di rumah *padahal sepertinya waktu tidur siang saya lebih banyak daripada waktu kerja, sungguh* dan juga sementara ini selektif dalam menyeleksi orang-orang yang belum bisa diseleksi *lebih karena belum ada orangnya hehe*. Anyway, saya masih tetap ingin menikah di usia 23. Sekarang saya 20, artinya 3 tahun lagi. Ada yang siap melamar?

Friday 14 September 2007

sungguh, jera!

Saya jera menghubungi salah satu dosen saya untuk konfirmasi kelas yang tak bisa dihadiri secara permanen oleh dia sendiri. Malah dimarahi, heuleuuh padahal saya sudah berusaha sesopan dan selembut mungkin memproduksi suara sore tadi. Ya sudahlah. Kurang koordinasi jadinya susah juga sih. Anyway, mau tidak mau, mengikuti jadwal dosen yang punya wewenang dan fleskibilitas ubah jadwal kesana kemari, saya harus kuliah di akhir pekan. Berarti, ada jadwal yang harus siap diubah lagi. Saya rela, dan ikhlas. Demi menuntaskan kuliah. Mudah-mudahan semuanya lancar.

Luar biasa juga. Ketika saya melihat perubahan jadwal yang terjadi di bulan Ramadhan ini. Tanpa aktivitas malam seperti biasa, semuanya terasa begitu padat dan menuntut untuk segera dikerjakan dan diselesaikan di pagi, siang, dan sore hari. Allah Maha Luar Biasa, mengaturkan jadwal yang begitu pas untuk saya kerjakan. Masih ada sela-sela waktu yang bisa saya gunakan untuk mengatur nafas sejenak, menempuh perjalanan menuju tempat berikutnya, dan menikmati aktivitas menyenangkan sambil beribadah.


Tidak sedang dalam mood menarik untuk terus menulis. Hanya sedikit harapan, semoga besok menjadi hari yang menyenangkan.

Thursday 13 September 2007

Welcome Ramadhan

Wah, welcome Ramadhan! Senang sekali menyambut Ramadhan dengan cara ini: Beres-beres kamar, tidak berminat nonton TV, semua orang Rumah bergembira ria tarawihan, sedangkan saya di kamar saja, merayakan malam 1 Ramadhan dengan sepi dan sunyi, kecuali suara-suara bacaan serta doa yang keluar dari pengeras suara surau dekat rumah. Dua tahun sudah, Ramadhan melewati keutamaan shalat tarawih di malam pertama. Ada beberapa keutamaan shalat tarawih di setiap malam di bulan Ramadhan

Disebutkan dalam sebuah dari Ali bin Abi Thalib r.a: Nabi Muhammad SAW ditanya tentang keutamaan-keutamaan Tarawih di bulan Ramadhan. Kemudian beliau bersabda:

1. Malam pertama: Orang Mukmin keluar dari dosanya, seperti saat dia dilahirkan oleh ibunya.
2. Malam kedua: Ia diampuni, dan juga kedua orang tuanya, jika keduanya mukmin.
3. Malam ketiga: Seorang malaikat berseru di bawah “Arasy”. “Mulailah beramal, semoga Allah mengampuni dosamu yang telah lewat”
4. Malam keempat: Dia memperoleh pahala seperti pahala membaca Taurat, Injil, Zabur, dan Al Furqan (Al-Qur’an).
5. Malam kelima: Allah Ta’ala memberikan pahala seperti pahala orang yang sholat di Masjidil Haram, Masjidil Madinah, dan Masjidil Aqsha.
6. Malam keenam: Allah Ta’ala memberikan pahala orang yang berthawaf di Baitul Makmur dan dimohonkan ampun oleh setiap batu dan cadas.
7. Malam ketujuh: Seolah-olah ia mendapat derajat Nabi Musa a.s dan kemenangannya atas Fir’aun dan Haman.
8. Malam kedelapan: Allah Ta’ala memberinya apa yang pernah Dia berikan kepada Nabi Ibrahim as.
9. Malam kesembilan: Seolah-olah ia beribadat kepada Allah Ta’ala sebagaimana ibadatnya Nabi Muhammad saw.
10. Malam kesepuluh: Allah Ta’ala mengaruniai dia kebaikan dunia dan akhirat.
11. Malam kesebelas: Ia keluar dari dunia seperti saat ia dilahirkan dari perut ibunya.
12. Malam kedua belas: Ia datang pada hari kiamat sedang wajahnya bagaikan bulan di malam purnama.
13. Malam ketiga belas: Ia datang pada hari kiamat dalam keadaan aman dari segala keburukan.
14. Malam keempat belas: Para malaikat datang seraya memberi kesaksian untuknya, bahwa ia telah melakukan sholat tarawih, maka Allah tidak menghisabnya pada hari kiamat.
15. Malam kelima belas: Ia didoakan oleh para malaikat dan para penanggung (pemikul) Arsy dan Kursi.
16. Malam keenam belas: Allah menerapkan baginya kebebasan untuk selamat dari neraka dan kebebasan untuk masuk ke dalam surga.
17. Malam ketujuh belas: Ia diberi pahala seperti para Nabi.
18. Malam kedelapan belas: Seorang malaikat berseru, “Hai hamba Allah, sesungguhnya Allah rido kepadamu dan kepada ibu bapakmu”.
19. Malam kesembilan belas: Allah mengangkat derajat-derajatnya dalam surga Firdaus.
20. Malam kedua puluh: Allah memberi pahala para syuhada (orang-orang yang mati syahid) dan shalihin (orang-orang yang shaleh).
21. Malam kedua puluh satu: Allah membangun untuknya sebuah gedung dari cahaya.
22. Malam kedua puluh dua: Ia datang pada hari kiamat dalam keadaan aman dari setiap kesedihan dan kesusahan.
23. Malam kedua puluh tiga: Allah membangun untuknya sebuah kota di dalam surga.
24. Malam kedua puluh empat: Ia memperoleh dua puluh empat doa yang dikabulkan.
25. Malam kedua puluh lima: Allah Ta’ ala menghapus darinya azab kubur.
26. Malam kedua puluh enam: Allah mengangkat pahalanya selama empat puluh tahun.
27. Malam kedua puluh tujuh: Ia dapat melewati shirat pada hari kiamat, bagaikan kilat yang menyambar.
28. Malam kedua puluh delapan: Allah mengangkat baginya seribu derajat dalam surga.
29. Malam kedua puluh sembilan: Allah memberinya pahala seribu haji yang diterima.
30. Malam ketiga puluh: Allah bergirman: “Hai hamba-Ku, makanlah buah-buahan surga, mandilah dari air Salsabil dan minumlah dari telaga Kautsar. Akulah Tuhanmu, dan engkau hamba-Ku” (HR. Majalis)

Saya sudah melewati keutamaan yang pertama, dan akan yang kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, semoga sampai keenam saja. Hikz, sedih.

Anyway, kesedihan ini sedikit terobati dengan rentetan SMS yang intinya berisi ucapan maaf lahir batin dan selamat menjalankan ibadah di bulan Ramadhan 1428 H. Bervariasi sekali. Saya merasa sedang berulang tahun saja hari ini, mendapatkan beberapa SMS yang saya balas singkat: Sama-sama, maaf lahir batin. Semoga Ramadhan membuat kita menjadi hamba Allah yang lebih baik.

”Lembutkan hati dengan banyak membaca Al Qur’an, bacalah dengan tenang dan fokus, Insya Allah akan jadi obat bagi hati. Puasa kita sukses jika keluar dari Ramadhan, amal dan akhlak kita lebih baik. Selamat menyambut bulan suci Ramadhan” ---Mbak May, rekan baru di tempat nomor 5---

”Satukan langkah lakukan puasa demi harmonis dalam ibadah dunia dan akhirat menuju kalbar maju, adil, dan sejahtera. Berpuasa kita menang! Perjuangkan buka puasa gratis!” ---Aris Munandar, reporter di tempat nomor 1---

”Harta paling berharga adalah AMAL, teman paling setia adalah SABAR, Ibadah paling indah adalah IKHLAS, identitas diri paling tinggi adalah IMAN, pekerjaan paling berat adalah MEMAAFKAN. Selamat menunaikan ibadah puasa. Mohon maaf lahir batin. Semoga ibadah puasa kita diridhoi Allah SWT. Amiin....” ---noname---

”Subhanallah, waktu terus bergulir membawa jiwa dan raga menuju Ramadhan. Seraya menundukkan hati, maafkanlah saudaramu ini agar dapat menjalankan puasa penuh ridha dan rahmatNya” ---Mas Arif, rekan di tempat nomor 4---

”Kini tangan tak dapat berjabat, setidaknya Yeni masih dapat mengungkap, tulis hati mohon maaf lahir batin atas segala salah dan khilaf. Marhaban yaa Ramadhan” ---Yeni, murid di tempat nomor 2, sekarang sudah selesai---

”Jika hati sejernih air jangan biarkan ia keruh. Jika hati seputih awan, jangan biarkan ia mendung. Jika hati seindah bulan, hiasi ia dengan iman. Marhaban ya Ramadhan. Selamat menunaikan ibadah puasa 1428 H” ---Fety, seorang teman yang belum pernah bertemu langsung---

”Jika seluruh umur penuh dengan dosa, maka taqwa dan taubat adalah obatnya. Jika seluruh bulan penuh dengan noda, maka Ramadhan inilah pemutihnya. Keindahan hati adalah dimana dapat menjaga agar hati tetap suci. Met Ramadhan, Mohon Maaf Lahir dan Batin. ---noname---

”Andai semua harta adalah racun, maka zakatlah penawarnya. Jika seluruh umur adalah dosa, maka taqwa dan tobatlah obatnya. Jika seluruh bulan adalah noda, maka Ramadhanlah pemutihnya. Selamat Berpuasa” ---Indriani, seorang sahabat sejak saya sekolah di tempat nomor 3---

”Kata yang indah adalah Allah. Lagu yang merdu adalah adzan. Media terbaik adalah Al Qur’an. Senam yang sehat adalah diet. Diet yang sempurna adalah puasa. Met puasa” ---Nurizzatul, adik kelas di tempat nomor 3--- (SMS serupa dikirim pula oleh Itsna Isyri Ramadhani, seorang sahabat satu jiwa satu hati sejak kami sekolah di tempat nomor 3)

”Di bulan yang mulya ini, Iyo ucapkan selamat menunaikan ibadah puasa, mudah-mudahan amat ibadah kita diterima oleh Allah SWT. Bersihkan hati, bersihkan pikiran, mari kita bersama-sama meningkatkan iman” ---Subagio, seorang teman yang sempat dekat---

”Marhaban Yaa Syahru Ramadhan. Kami menyampaikan Selamat menjalani puasa di bulan Suci Ramadhan. Mohon maaf atas segala kesalahan” ---Kang Asep Haryono, seorang teman on line yang menyenangkan---

”Pesan tuk hari Kamis: Baca hari KAMIS aja ya! Eh, ga percaya! Ya deh, mau tau ya... MAAF KALO ADA SALAH. Met tunaikan ibadah Puasa 1428 H” ---Deasy Juanti a.k.a Joanne, seorang teman menyenangkan dari perkenalan yang tak menyenangkan---

”Istighfarku takkan mencapai tujuannya tanpa keikhlasanmu untuk memaafkanku. Ibadahku takkan sempurna tanpa adanya silaturrahmi diantara kita. Marhaban Yaa Ramadhan. Mohon Maaf Lahir dan Batin” ----Risma Dewi, seorang teman sejak saya sekolah di tempat nomor 3---

”Amin... Marhaban ya Ramadhan, semoga Allah Karuniakan berkah Ramadhan. Mohon Maaf atas segala Khilaf” ---Balasan SMS Ibu Fifi, guru saya di tempat nomor 3---

”Nangkap Merpati dapat elang. Nangkap udang dapat ikan. Bulan yang dinanti akan menjelang, selamat datang bulan Ramadhan. Mari persiapkan diri. Mohon maaf lahir dan bathin. Selamat menjalankan ibadah puasa” ---noname---

”Kata yang indah adalah Allah. Lagu yang merdu adalah adzan. Media terbaik adalah Al Qur’an. Senam yang sehat adalah diet. Diet yang sempurna adalah puasa. Kebersihan yang menyegarkan adalah Wudhu. Perjalanan yang indah adalah haji. Khayalan yang baik adalah Ingat akan dosa dan taubat. Izinkan kami menghaturkan Selamat Menyambut Bulan Suci Ramadhan 1428 H dan Selamat Berpuasa. Mohon Maaf Lahir dan Batin” ---Ivan, seorang pendengar untuk tempat nomor 1--- (SMS serupa juga dari: Faisal Fachruzi, seorang teman yang mulai akan menjadi murid :D)

”Marhaban yaa Ramadhan. Met menyambut bulan suci Ramadhan. Sucikan hati, sucikan pikiran, sesuci kalimah sahadat setulus hatiku berucap mohon maaf lahir dan bathin” ---noname---

”Marhaban yaa Ramadhan. Ini adalah bulan penuh dengan fitrah untuk pertama kali kita menjalankan ibadah shalat tarawih di bulan penuh ampunan ini. Semoga dengan datangnya bulan Ramadhan ini kita menjadi manusia yang baik. Amin. Selamat menunaikan ibadah di bulan Ramadhan” ---Ruly Ramandha a.k.a Onyeng, seorang sahabat sejak sekolah di tempat nomor 3---

”Istighfarku takkan mencapai tujuannya tanpa keikhlasanmu untuk memaafkanku. Ibadahku takkan sempurna tanpa adanya silaturrahmi diantara kita. Marhaban Yaa Ramadhan. Mohon Maaf Lahir dan Batin” ---Lia, (nomor tidak terekam di phonebook)---

”Jibril pernah meminta agar jangan diterima puasa kaum muslim yang sebelum ramadhan tidak meminta maaf terhadap sesamanya. Marhaban yaa Ramadhan. Maaf lahir dan batin. Selamat Berpuasa” ---Balasan SMS dari Bang Indra, senior di tempat nomor 1---

”Melati indah nan berseri, jadi hiasan di bulan suci. SMS dikirim pengganti dari pertanda ikatan tali silaturrahmi. MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN. Selamat menempuh bulan yang penuh Rahmat dan Berkah” ---noname---

”Gak terasa, Ramadhan telah datang. Mohon maaf atas segala khilaf yang terjadi. Terima kasih untuk selalu dan selalu mengingatkan. Doakan agar Ramadhan ini membawa benar-benar berkah”. ---Elisa, seorang sahabat satu kampus, juga satu tempat kerja di tempat nomor 2---

”Welcome to Ramadhan Great Sale. Jangan lewatkan obral pahala sebesar-besarnya + diskon dosa s/d 99% + door prize Lailatul Qadar. Hanya 30 hari loh, BURUAN. Marhaban Yaa Ramadhan” ---Ari Andiko, seorang murid yang sudah lulus dari tempat nomor 2--- (SMS serupa dikirim juga oleh: Maulidia Hasanah, seorang teman kampus)

”Ramadhan sebentar lagi tiba, tetaplah jadikan sebagai Radja bagi semua bulan, yang bersimfoni seindah lirik Dewa. Mari jadikan Element hati yang Coklat dan Ungu menjadi seputih GIGI, secantik Ratu dan seperkasa Samsons. Bertaqwalah dengan Seriouse agar kehidupan takkan pernah jadi Boomerang bagi kita. Selamat menyambut bulan suci Ramadhan 1428 H” ---Faris Luthfi, seorang adik kelas dan murid di tempat nomor 3--- (SMS serupa dikirim juga sama beberapa teman: Zulham Arpandy, rekan di tempat nomor 1; Supriyana, seorang murid yang sudah lulus dari tempat nomor 2; satu pengirim tanpa nama)

”Si putri sibuk berdandan. Pengeran mude mengail ikan. SMS dikirim pengganti badan, khilaf dan salah mohon di maafkan. Selamat menunaikan ibadah puasa 1428 H” ---Bunayya Chairunnisa, seorang teman kampus---

”Buah nangka buah kluih, gak nyangka udah tarawih. Ada ikan lagi berdansa, selamat menunaikan ibadah puasa. Pergi ke kakap beli ikan patin, mohon maaf lahir dan batin” ---Yuni, seorang pendengar untuk tempat nomor 1---

”Selamat menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Di bulan yang suci ini saya memohon maaf lahir dan bathin” ---Dita Wulandari, seorang sahabat yang sempat kuliah, dan sekarang sedang cuti karena sibuk bekerja---

”Tiada kata seindah zikir, tiada bulan seindah Ramadhan. Izinkan kedua tangan bersimpuh maaf untuk lisan yang tidak terjaga, janji yang terabaikan, hati yang berprasangka, sikap yang menyakitkan, mohon maaf lahir batin, selamat menjalankan ibadah puasa. Semoga ibadah dan amalan baik kita diterima Allah SWT. Amin.” ---Yudi Darma, seorang teman yang sempat dekat, sejak kami sekolah di tempat nomor 3---

”Ramadhan, bulan yang penuh berkah, rahmat, dan ampunan. Mari kita sucikan diri dan hati kita yang penuh ampunan ini. Semoga amal ibadah kita diterima di sisiNya. Amin yaa Robbil Alamin. Pergi ke pasir ketemu Nanda, Met puasa ya” ---Nanda, seorang pendengar untuk tempat nomor 1---

”Morning doesn’t mean getting up and working again. It rather means Allah loves us so much to let you live and see another Ramadhan. Mohon dimaafkan atas segala khilaf dan salah. Good morning and have a wonderful day.” ---Sisi Iristya Dewi Yewinna, seorang rekan di tempat nomor 1---

“Selamat menyambut bulan puasa. Insya Allah semakin bertambah berkah dan hidayah serta keimanan kita semua. Mohon maaf lahir dan batin” ---Ms Dewi Novita, seorang dosen favorit tercinta yang perfeksionis---

Beberapa SMS tersimpan di kartu selular lain. Ucapan-ucapan indah pula, terangkai untuk sampaikan selamat berpuasa, selamat beribadah di bulan Ramadhan, serta berbagai harapan di bulan penuh berkah ini. Meskipun (lagi) saya tidak bisa menyambutnya dengan tarawih dan berpuasa, setidaknya saya masih bisa bersyukur pada Allah untuk memberikan kesempatan pada saya, memperbaiki diri menjadi lebih baik. Amiiin.