"Okay students, what is the meaning of 'Book'?", tanya guru.
"Bukuuuu", siswa menjawab serempak.
Selama ini saya dan beberapa rekan pengajar sempat melakukan salah kaprah yang terlanjur menjadi kebiasaan, cukup sulit diubah, dan kian lama dianggap benar. *Ya, namanya juga salah kaprah hehe*. Rupanya, penggunaan kata 'meaning' pada contoh kalimat di atas kurang tepat. Dalam Bahasa Indonesia, kita terbiasa menerjemahkan kata 'meaning' di atas menjadi 'arti' sehingga ketika pertanyaan seperti What is the meaning of Book muncul, otomatis otak kita berpersepsi bahwa pertanyaan artinya: "Apa Bahasa Indonesianya 'book'?".
Menurut dosen linguistics saya, Meaning is not supposed to be used that way. Meaning isn't translation. Meaning is the concept behind the words. Kalau dialihbahasakan, bolehlah ya kita gunakan kata 'makna'. Beda kan, definisi 'arti' dan 'makna'? Beda deh beda, biar lanjut niih tulisannya :p
Her writing has a very deep meaning.
Itu contoh kalimat yang menggunakan kata meaning dengan lebih tepat. Tulisannya dalem banget.
Sedangkan What is the meaning of book?, lebih tepat jika diganti menjadi "What is the gloss of 'book'?", atau "What is 'Book' in Bahasa Indonesia?". Apa Bahasa Indonesianya book? Buku.
So, here we can conclude that "A gloss is a word or phrase in English that is associated with a word or phrase in another language. Somehow, the gloss does not define the original word, but the two words should share some overlap in their semantic domain." (Definisi ngutip dari sini).
Contoh lain, dalam dunia blogging, kita mengenal kata widget. Di Cambridge Dictionary, widget dimaknai sebagai any small device whose name you have forgotten or do not know atau an imagined small product made by a company. Tapi ketika sudah sampai ke sebuah web/blog, widget kita artikan sebagai aksesoris blog. Jadi boleh dibilang, kita menganggap bahwa widget itu glossnya di Bahasa Indonesia = aksesoris. Meskipun dalam Bahasa Indonesia, aksesoris pun bisa sangat beragam.
Malah tambah bingung? See the underlined sentences above: the gloss does not define the original word.
Atau contoh sederhananya gini deh. Butterfly, glossnya adalah kupu-kupu (Bahasa Indonesia), papillon (French), kelebek (Turkish), farasha (Arabic), Mariposa (Spanish), farfalla (Italy), and so on.
Contoh lainnya bisa lihat di sini nih :P
So, simply, when we'd love to find the meaning of certain words in English, what we're supposed to do is looking up our English-English dictionary. Or investigating the context behind the words. But when we take our English - Indonesian dictionary, it means we are searching the gloss of the word, not the meaning. Jadi, gloss ini mau dibilang translation yaiya, tapi tidak juga sepenuhnya, mengingat tidak semua gloss bisa mewakili kata aslinya.
Anyway, tampaknya cukup sulit ya mengubah kebiasaan untuk mengganti "What is the meaning of book" menjadi "What is the gloss of book". Pertama, karena sejak awal kita sudah terbiasa mendefinisikan meaning sebagai terjemahan. Kedua, kata 'gloss' masih terdengar asing di telinga kita :)
Aih aiih, belajar linguistics memang mengasyikkan ya :D
Saya jadi ingat saat tes Bahasa untuk program Pertukaran Pemuda LN sekitar tahun 1995. Penguji Bahasa Inggris menuliskan secarik kertas bertuliskan "Cat have four legs". Saya diminta menterjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia. Ah mudah sekali pertanyaannya. Saya jawab aja "Kucing mempunyai empat kaki". Benar kan? Ternyata para JURI penguji Bahasa pada tertawa. Menurut mereka terjemahan saya adalah terjemahan Inggrisya orang Indonesia. Bukan dalam prespektif orang asing. Seharusnya bermakna "Kucing itu berkaki empat". oh yaaaaaaaaaaaa
ReplyDelete