Salah satu syarat untuk menjadi penyiar radio adalah bersuara mikrofonis. Selain itu, penyiar juga dituntut untuk memiliki wawasan yang luas. Urusan wajah, ga jadi masalah. Lain cerita kalo mau menjadi penyiar radio hanya sekedar batu loncatan untuk lompat ke dunia TV broadcasting. Lalu, apakah penyiar dilarang merokok? Setau saya, di radio tempat saya telah bersiaran selama kurang lebih 7 tahun, sama sekali tidak ada persyaratan semacam itu. Yang ada adalah, dilarang merokok di dalam studio karena studio radio ber-AC.
Sependek pengetahuan saya, profesi yang menetapkan persyaratan dilarang merokok di awal masuk, salah satunya adalah polisi. Saya ingat betul, bagemana dulu beberapa orang teman saya sangat ingin menjadi polisi, tapi gagal di tes kesehatan karena dalam tubuh mereka bersarang sisasisa nikotin akibat merokok. Ada juga, yang membuat saya agak sedikit heran, teman saya yang lumayan berat candu rokok, eh tapi bisa juga keterima jadi polisi. Lantas saya pun mikir, barangkali sebenernya gpp kali ya kalo pernah merokok trus mau ngelamar jadi polisi, asalkan pandai menyembunyikan racun nikotin dan sebagainya yang dimasukkan melalui rokok.
Anyway, saya mah biar gimanapun juga, tetep aja ga setuju dengan rokok, seperti yang pernah saya paparkan. Tapi, yang saya tidak habis pikir, kenapa yang terhormat Om Polisi yang kalo merokok ketika menjadi Taruna Akpol terhitung sebagai pelanggaran perilaku dan berdampak mengurangi nilai kepribadian, sekarang malah dengan santai dan sadar membiarkan racunracun disuntikkan melalui batang rokok?
Bukan saya yang bilang bahwa merokok terhitung pelanggaran perilaku dan mengurangi nilai kepribadian. Statement itu datang dari Gubernur Irjen Pol Sutjiptadi di kampus Akpol, Semarang. Yeah, meskipun pada akhirnya, beliau juga yang berkata begini "Yang dilarang kan hanya taruna. Pembina dan dosen kan bukan taruna tapi sudah menjadi polisi, maka ya boleh-boleh saja merokok." Saya jadi kecewa, deh. Perkara rokok di negeri ini memang luar biasa dibikin rumit. Mengutip sajaknya Taufiq Ismail, berjudul Tuhan 9 Senti.
Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat
merujuk kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa.
Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisab rokok.
Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka
terselip berhala-berhala kecil,
sembilan senti panjangnya,
putih warnanya,
ke mana-mana dibawa dengan setia,
satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya,
Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang,
tampak kebanyakan mereka memegang rokok dengan tangan kanan,
cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri.
Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul yamiin
dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?
Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu.
Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhan, ya ustadz.
Kiai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al hawwa’i.
Kalau tak tahan di luar itu sajalah merokok.
Laa taqtuluu anfusakum. Min fadhlik, ya ustadz.
25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan ?
Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang,
Karena pada zaman Rasulullah dahulu,
Sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.
Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok,
Lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan
Berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara kita,
Jutaan jumlahnya,
Bersembunyi di dalam kantong baju dan celana,
Dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna,
Diiklankan dengan indah dan cerdasnya.
Tidak perlu wudhu atau tayyammum menyucikan diri,
Tidak perlu ruku’ dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini,
Karena orang akan khusyuk dan fana dalam nikmat lewat upacara menyalakan api dan sesajen asap tuhan-tuhan ini,
Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.
Well, temanteman. Lihatlah. Kasus rokok ini bukan saja melingkar di leher para polisi yang terhormat, yang justru ketika berusaha keras meraih profesi mulia menjadi polisi, dilarang untuk merokok. Yang harus sehat bebas nikotin sebagai salah satu syarat tes kesehatan di penerimaan taruna polisi. Bahkan beberapa orang yang disebut ulama pun terjerat oleh batang rokok.
Duh duh. Om Polisi bikin sedih. Bapak Ulama juga bikin sedih. Meskipun tak semuanya begitu, tapi itulah fakta dan kenyataannya. Berlamalama sedih juga tiada guna. Kalo gitu, mari kita bantu doa, sertakan juga dengan usaha. Dan saya berdoa, semoga usaha saya membuat tulisan ini, membawa manfaat untuk temanteman yang membacanya. Aamiin.
Om polisi merokok karena pengen kurus kakak... kan ga enak noh kalo mo nangkepin maling tapi keberatan badan wkwkwk... makanya die pade ngerokok :D... dasar OmPol
ReplyDeleteWkwkwk dheeta bisa ajah :p
Deletesebagai anti-merokok saya setuju dengan ini :D
ReplyDeleteBagooooeeeess d(ˆ⌣ˆ)b
Deletekira2 apa ya yang ada dalam pikiran para Ustadz yang terhormat itu... hff..
ReplyDeleteHufff ustadz yg merokok itu sungguh terrrlaaaluuu :(
Deletemasih nyangkut rupe nye link taufiq ismail tuh
ReplyDeletemasih :D gratis kan? kan udah dapat belanja gratisss dari nouvelle.
ReplyDeletehik hik hik *sambil mewek* :((
ReplyDeletesaya perokok, baca tulisan ini aja sambil ngerokok, tp pigimana lagi, rokok udah jadi senyawa dan asupan bagi otak saya, hik hik hik #mewek lagi# :((
*pukpuk bang stumo *stupidmonkey :p*
Deletekita doakan semoga diberi kekuatan untuk stop merokok :D
batul mbak :( yang jadi masalhnya biasa krena terlanjur kecanduan.... jdi apapun profesinya klo kecanduan kan susah juga -___-
ReplyDeleteiya chi, betulll. Tulisan ini menyoroti om polisi karena pas mereka mau jadi polisi, bener2 jaga badan supaya bebas asap rokok biar lulus tes. Ehhh giliran udah lulus tes malah pada merokok ._.
DeleteKan sayaaang ya chi kesehatan badannya *nangisss prihatin*