Dari siapa saja kita boleh ambil pelajaran, termasuk dari para pedagang bubur, rujak, dan es kelapa. Jika sebelumnya saya belajar dari Hasbi, maka kali ini saya ingin sekali belajar dari 3 orang ini.
Adalah Kang Odink, penjual rujak keliling yang dulu setiap sore mampir di Jalan Sumatera 28, menawari penyiar yang sedang siaran sore dengan rujak yang masih ada di gerobaknya. Waktu itu saya masih SMA. Setelah ikut les tambahan untuk persiapan Ujian Akhir Nasional di sekolah, saya langsung ke studio, siaran. Menyenangkan, dan semakin menyenangkan karena Kang Odink menawari rujaknya. Saya suka buah-buahan. Termasuk yang dipadukan dengan saus kacang. Ayeah! Jadilah sore saya beberapa tahun lalu itu ditemani dengan mixing operator studio, mikrofon 103.4 fm Pontianak, dan rujaknya Kang Odink. Nyummy..
Tahun berlalu, sepertinya berkeliling sambil mendorong gerobak rujak cukup jadi rutinitas melelahkan bagi Kang Odink yang punya anak kembar itu. Maka, entah sejak tahun bila, Kang Odink pun memutuskan untuk berjualan rujak dengan stand-by bersama gerobaknya di kawasan Sumatera, tepatnya di seberang lapangan tenis dekat SPN Pontianak. Pelanggan setianya masih banyak saja, tampaknya. Ditambah lagi, Kang Odink tak stand-by berdua saja dengan gerobaknya, tapi bersama gerobak rekan seperjuangannya, Apo, sang penjual Es Kelapa.
Kita lepas dulu kisah 2 orang ini, karena di tengah perjalanan ambil pelajaran dari orangorang yang terlihat biasa ini, saya diinterupsi dengan kehadiran seorang pedagang bubur keliling yang sampai hari ini saya belum tau namanya. Saat itu, saya juga masih di bangku SMA, dapat jadwal siaran minggu pagi. Dan tiap minggu pagi sebelum saya banyak berbagi informasi dengan pendengar lewat mikrofon studio, akang bubur *maaf, ga tau namanya hehe* melewati jalan Sumatera 28, dan saya lupa entah siapa yang saat itu naik ke studio nawarin bubur ayam itu ke saya. Semangkuk Rp. 3000 waktu itu. Setelah beberapa waktu, tak lagi akang yang biasa saya lihat yang dorong gerobak bubur ayam cianjur itu. Sudah berganti. Kali ini saya tau namanya: Ali.
Sama seperti Kang Odink tampaknya. Berkeliling tak cukup menyenangkan, sepertinya. Maka, selang beberapa waktu pun, saya melihat setiap pagi gerobak bubur ayam cianjur itu standby juga di kawasan sumatera 28, tepat di sekitar tempat Kang Odink biasanya jualan rujak di siang hingga sore hari.
Nah, sekarang yang terjadi adalah: Kang Odink berekspansi jualan juga di pagi hari, dengan menu baru: Nasi Kuning seharga 8ribu rupiah *7ribu kalo ga pake telor*. Apo tak lagi sekedar jualan es kelapa, tapi merambah jenis minuman lain semacam capuccino, teh dalam kemasan sachet, dan banyak pilihan minuman dengan harga terjangkau yang kiranya klop dengan pilihan konsumen. Kang Ali, berjualan bubur yang sekarang harganya jadi 6ribu semangkuk.
Lalu, apa pelajaran yang bisa diambil dari mereka bertiga? Well, well. 1 hal yang membuat saya salut kepada 3 pedagang yang sama-sama berusaha melayani kebutuhan makan konsumen dengan jenis makanan berbeda ini adalah bahwa mereka memiliki kekompakan yang hebat, rasa saling percaya yang tinggi, dan kejujuran yang jauh lebih mantap daripada kejujuran para wakil rakyat.
Penilaian seperti ini muncul karena saya saksikan sendiri bagaimana Kang Odink dengan percayanya 'menyerahkan' gerobak nasi kuningnya pada Apo dan Kang Ali untuk bersepeda ke rumah buat ambil bahanbahan rujak dan gadogado yang akan dijajakan di siang harinya. Maka, ketika ada pelanggannya Kang Odink yang mau beli nasi kuning, Apo atau Kang Ali lah yang melayani pelanggan. Uangnya, tetap masuk ke laci gerobaknya Kang Odink. Begitupun kalau Apo lagi beli es batu di warung si Abah. Kalau ada yang mau beli es kelapa, Kang Odink yang layanin pelanggannya Apo.
Mereka betulbetul orang-orang yang terlihat biasa, tapi memiliki jiwa pertemanan yang luar biasa, paling tidak menurut saya. Saya sebagai pelanggan mereka bertiga, bangga betul bisa menyaksikan langsung bahwa masih ada kejujuran yang terjadi di depan mata saya sendiri. Apakah mungkin pelajaran moral seperti ini bisa diimplementasi oleh 3 lembaga negara yang melayani 'pelanggan' mereka dengan 'panganan' serupa, tapi dalam kemasan berbeda? Ah, jangan paksa saya untuk campuri urusan ini, kawan.
Kita memang bisa belajar dari siapa saja. Syukran cerita yang sarat pelajaran ini.
ReplyDeleteitu betul.. afwan, akhi..
ReplyDeletedin, laper XD
ReplyDeletekamu mah laper mulu ihihi..
ReplyDelete