dhz tweets fb dhz dhz on pinterest dhz g+ dhz socmed dhz blogs dhz is ... Home Home Image Map

Wednesday 31 October 2007

Main - Main Language

Ini minggu terakhir saya bisa ada di rumah untuk jelang malam nih. Bulan depan, sudah harus pulang malam lagi, hampir setiap malam. Lagi-lagi pekerjaan. Bingung juga bagaimana nih saya akan splitting body into different but many purposes and places.

Hmmm, kalau saya lihat-lihat postingan saya, sebagian besar mencampuradukkan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris deh. Kenapa begitu thekupu blog’s owner? State your reason clearly in front of the readers! *Tuh kan, nyampur aduk lagi!*

OK. Saya pernah berkata, tepatnya menuliskan, dalam blog saya ini bahwa saya berbahasa Inggris ketika saya ingin memaparkan cerita yang sesungguhnya ingin saya sampaikan secara implisit dalam Bahasa Indonesia. Keterbatasan kemampuan menulis secara implisit rasanya menjadi salah satu alasan yang membuat saya masih suka menggado-gadokan *aduuuh, sekarang nama makanan dijadikan kata kerja!* tulisan saya di blog ini.

Begitu banyak juga orang-orang awam bermain dengan bahasa. Yang barusan saja saya alami adalah kejadian belakangan ini di tempat saya mengajar. Saya kaget waktu beberapa staff administrasi di sana menanyai arti dari ”What a man!”. Saya pun agak-agak bingung mau jawab bagaimana karena sebelum kata ”man” tidak ada sebuah adjective disisipkan. Akhirnya, saya sepakat dengan diri saya sendiri, menyimpulkan bahwa ”What a man” adalah sebuah exlamation expression, dan saya jawab, ”Itu bisa diartikan sebagai Pria Sejati”. Mereka lantas terbahak. Barangkali, saking inginnya memasyarakatkan Bahasa Inggris, sampai-sampai staff di tempat saya mengajar menerjemahkan ”Laki-laki apaan” menjadi ”What a man!”. Masya Allah.

Hehehe. Sebenarnya, penyalahgunaan tafsiran bahasa semacam itu sudah sangat seringkali saya aplikasikan ke dalam daily conversation antara saya dan teman-teman Gaby. Yeah, saya rasa ga masalah deh. Kan itung-itung menerapkan mata kuliah Sociolingusitics toh? *hehe, maksa neh yea*. Saya yakin pula, penggunaan bahasa, baik itu Bahasa Indonesia apalagi bahasa asing, bahasa tutur atau bahasa tulis, masih banyak diacak-acak. Salah satu pengacaknya, barangkali ya saya ini. Yeah, emang enak yah play-play bahasa hahaha.

Tuesday 30 October 2007

WAIT FOR MARCH

What a hectic day! But happiness still flow slowly but sure as the time goes by. Amazing day. However, it’s not been really full day of October 30. I’m, as usual, in the middle of the nite after playing a bit with some nice task and interesting duty dealing with this lovely notebook ;)

I think I’d like to go flashback, just a flash.

..karena cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti orang mati, nyalanya adalah nyala api. Air yang banyak tak dapat memadamkan cinta, sungai-sungai tak dapat menghanyutkannya..

Maka, haruskan kita tenggelam ke dalamnya? Atau hanyut saja? Lewati sungai itu, dengan bahagia. Atau, biarkan sebuah perahu jadi tempat untuk menunggu? Lagi dan lagi, menunggu yang menyenangkan. Sungguh, menyenangkan. Karena banyak tiupan angin segarkan wajah sampai ke hati.

What a nice thing to wait!


When uncountable wind slaps me gently in my waiting time, nothing to compare it to! Even ice cream names Conello can’t beat the beauty of this amazing waiting!

Just Michael Buble as the symbol of the Beauty of July, maybe, which is able to beat. However, waiting for March while listening the beauty of July, isn’t it a great idea?

Berkas Liburan Lebaran

Oh ya, saya lupa untuk berbagi sedikit liburan Idul Fitri yang lalu ke teman-teman. Ada beberapa gambar juga loh ^_^.

On the way hometown of my father and mother, listening to the music, Buble still My Everything.



Ternyata, sampai di tanah airnya bapak ibu saya, hmmm indah juga melihat sebuah ciptaan anugerah Allah yang luar, sebuah bukit batu hitam gelap yang dinamai bukit kelam, tampak dari kejauhan.









Jelang senja, makin indah aja deh bukit kelamnya.


Meskipun Sungai Kapuas yang ada tepat di depan rumah ortunya orang tua sa
ya *kakek, susah banget sih hehe* sudah tercemar merkuri, sampah-sampah, dan zat-zat lain yang sesungguhnya tak layak berada di sungai terpanjang di Indonesia itu, namun banyak juga anak kecil ’kehausan’ air sungai. Tidak mereka telan ke mulut, namun mereka basahi badan dan bersenang-senang di sana.



Rasanya, ikan-ikan dalam sungai pun tak ada pilihan lain untuk menepi dari Sungai Kapuas dengan cemarannya. Tertangkap nelayan, yaah barangkali sudah saatnya dimakan deh kan, ikan :).


Segini aja deh kayaknya. Koleksi foto-foto liburan bersampan lainnya, langsung mampir ke second account friendster saya aja.

Sunday 28 October 2007

Je t'aime and me

It’s not really damn cold nite to say. But I always say that fever or headache or influenza or something like that is just a sugesty. It’s not a real disease. Don’t feel it, so you will not feel it. Simple, right? If you do not wanna be sick, why should you say that you are going to be sick? I am not going to have fever coz I dun wanna leave my beloved broadcasting time. Fever means no working, no going to campus, no teaching. Yea, I’ve told that here and here also.

However, the fluctuated feeling that these days in me, slowly but sure become a bit stable. Just a bit. Really a bit. I didn’t listen any statement but just Je t’aime came out from a short message service from one I need to say it straight to the point.

I will not let myself hurt anymore, of course. I also have no heart to hurt one who has no heart to hurt me. I am willing to wait till I find no more boundaries between.

Saturday 27 October 2007

Berbuat Baiklah

Kebaikan yang kita lakukan bukanlah untuk orang lain, namun untuk diri kita sendiri.

(Mama, Oktober 10 2007)

Kalimat untuk muncul saat saya bercerita pada Mama tentang seorang atasan yang tega tidak membagikan hak karyawannya jelang Idul Fitri. Bukan siapa-siapa sang karyawan, melainkan sahabat Gaby saya. Sakit hati sahabat pun kami rasakan bersama. Hingga saatnya istri atasan saya itu melahirkan, tak seorang pun sepertinya yang tergerak hatinya maupun tergerak sepeda motornya untuk mampir melihat bayi pertamanya pak bos. Hanya beberapa rangkaian doa saja yang ikhlas dikirimi lewat SMS oleh beberapa orang teman, saya pula.

Fenomena berbeda terjadi saat sahabat saya, Rena Mardita, melahirkan anak pertamanya. Bukan karena Rena adalah sahabat, lantas kami berkewajiban untuk mampir melihat bayi pertamanya. Namun lebih karena ketika dia bersahabat dengan kami, beragam kebaikan yang telah dilakukan sehingga kebaikannya itulah yang mengantarkan saya dan teman-teman ke rumah sakit bersalin tempat dia melahirkan. Alangkah indah ketika kebaikan kepada orang lain mengantarkan hal yang sama untuk diri kita.

Kasus atasan saya, yang seakan-akan menganiaya karyawannya, terjadi setelah dia sekian lama bersikap sangat baik kepada kami. Sayang sekali. Susu yang sebelanga sudah diraciknya sendiri itu, harus rusak akibat setitik nila buatannya sendiri *dan sebagian besar buatan keluarganya pula*. Sungguh sayang. Akibat ketidak baikan yang terasa di akhir-akhir episode, melenyapkan kesempatan untuk diperlakukan semanis susu.

Maka, berbuat baiklah kepada siapa saja, kapan saja. Kebaikan itu sesungguhnya bukan untuk orang lain, namun akan kembali kepada si pembuat kebaikan itu pula.

Friday 26 October 2007

welcomeback!

Masih ada beberapa postingan untuk di publish di blog saya tercinta ini. Namun, sepertinya kesibukan membuat saya tidak bisa benar-benar memaksimalkan waktu yang saya punya untuk sekedar posting tulisan. *DUH, sok sibuk hahah*.


Jadi, sementara ini silahkan mampir ke sini dulu deh yea.

Saturday 20 October 2007

Need this?

Akhir pekan, liburan, tetap saja pekerjaan adalah sang kesayangan. Pyuwh. *mengeluh terus aja din, capenya bakalan makin terasa!*.

Ingin sekali tidak menyangka bahwa hari ini adalah hari Jumat. Sebuah hari yang selalu saya sebut-sebut sebagai hari jelang akhir pekan. Akhir pekan, artinya bekerja dan rapat. Belum libur lagi seperti hari-hari-hari *karena saya sempat liburan 3 hari* kemarin. Betapa menyenangkannya berlibur, dengan pikiran yang tetap terbebani hal-hal yang belum usai dalam kepala ini.

Ya ampun! Masya Allah. Senangkah atau bingungkah dengan rapat kian kemari yang tentu saja akan membuat saya semakin pusing? Yeah, berkaca pada iklan rokok itu saja: Pikiran Uangnya, jangan pikirin Pusingnya. Yup. Saya sedang butuh uang puluhan juta rupiah saat ini, demi terlaksananya sebuah event yang saya ketuai. Akankah puluhan juta terkumpul dalam waktu 3 bulan dari kantong orang-orang dermawan?

Duh, sudah ah. Kenapa saya jadi menulis tentang uang puluhan juta itu? Malam ini kan saya seharusnya mendeskripsikan betapa bahagianya saya menghabiskan waktu seharian dengan sahabat saya tercinta, Itsna Isyri Ramadhani. Saya tidak bisa banyak deskripsi dalam keadaan dingin dan lelah seperti sekarang. Saya hanya bisa berkata, bertemu Itsna seperti saya mendapatkan kehangatan dari Michael Buble yang Everything.

Thursday 11 October 2007

Off juga


Setelah beberapa blogger menyatakan diri untuk off sementara waktu, sepertinya saya juga akan berlaku demikian. Cape juga yah ngeblog setiap hari *pyuuuuwh*.

Sekalian deh, mumpung jelang Idul Fitri nih. I would like to say MINAL AIDIN WAL FAIDZIN, maaf lahir bathin untuk semua pengunjung blog thekupu. Maaf ya kalo ada salah-salah ketik. Kesalahan-kesalahan itu adalah pertanda bahwa saya manusia.

Wednesday 10 October 2007

Pria BUNCIT, mapan atau busung lapar?

Obrolan ringan sore tadi menggelitik jari ini untuk membuat tulisan berjudul di atas. Haha. Sebelumnya, marilah kita lihat *terutama para pria* buncitkah perut Anda? Jika ya, maafkan saya jika Anda tersinggung.

Maka, menjawab judul di atas, menurut saya perut buncit belum tentu mapan dan bukan berarti busung lapar. Judul tersebut tercetus hanya untuk mengguyon rekan saya yang perutnya buncit sehingga baju yang seharusnya datar di wilayah perut, malah membentuk setengah lingkaran seperti orang hamil saja! Di dalihkan bahwa perut buncit adalah tanda pria mapan, saya pun mengguraunya dengan berkata bahwa buncitnya dia itu pertanda busung lapar *hehe, maaf ya penyiar favoritku, peaceee*.

Secara dunia nyata, setiap hari saya melihat perut yang setengah lingkaran itu di rumah saya: Bapak tercinta. Ya, Bapak memang pria mapan, bukan busung lapar. Namun, pria mapan versi saya dalam tulisan ini bukan pria mapan yang sudah menikah dan punya anak seorang wanita *cantik* dewasa seperti saya ini. Pria mapan yang sedang saya bicarakan adalah pria yang dikategorikan telah mapan di mata wanita *cantik atau tidak cantik* yang ingin mencari pasangan hidup. Benarkah perut buncit adalah salah satu tanda bahwa sang pria tersebut mapan?

Logikanya, saya beranggapan bahwa jika si pria berperut buncit, itu artinya pria tersebut memenuhi kebutuhan gizinya dengan maksimal. Namun secara rasa dan estetika, jujur ya, saya sedikit agak ilfil *ilank filing bo’* melihat perut buncit yang bisa merusak penampilan *kecuali perutnya Indra Bekti yang malah bikin gemes*. Kenapa harus ilfil? Ya iyalah. Dalam pikiran saya, ketika pria tersebut buncit, maka itu berarti si pria seneng makan *bahasa jujurnya: rakus*, tapi males olahraga. Pantesan aja buncit kan?

Lantas pria buncit pun saya hubungkan dengan om-om berduit yang sudah bosan dengan istrinya di rumah. Om-om yang istrinya cuma bisa morotin duitnya tapi tidak memberikan kepuasan jasmani ruhani si om. Nah, mungkinkan orang buncit karena stress ya? Waah jangan donk. Bapak saya kan buncit. Masa sih ibu saya ngga memenuhi kebutuhan jasmani ruhani bapak saya. Ya ngga lah. Bapak saya sebenernya ngga buncit, tapi bulet *ampuuun paak*. Kebuletan itulah pertanda bapak makmur gyehehehe.

Anyway, kembali ke kasus buncit yang katanya pertanda mapan, saya tetap berkeyakinan bahwa pria buncit bukan berarti mapan, namun cenderung males olahraga. Anggapan saya ini dengan landasan fakta dan bukti-bukti nyata di depan mata berupa beberapa pria berperut buncit di kantor, kampus, dan sebagian teman dekat. Mereka sama sekali tidak busung lapar, dan tidak pula mapan. Busung lapar apanya. Makan aja bisa sampe 5 kali sehari, gimana bisa busung lapar.

Jadi wahai pria buncit maupun tidak buncit *dan juga wanita-wanita buncit, termasuk saya juga deh kayaknya*, mari kita olahraga yuk. Sit up paling tidak 3 kali seminggu. Mudah-mudahan bisa merampingkan perut yang buncit. Atau ada cara lain untuk merampingkan si buncit?

Tuesday 9 October 2007

Si Ungu dan Kekasih Gelapnya


Kumencintaimu... lebih dari apapun
Meskipun engkau hanya, kekasih gelapku...



Sebagian lirik Ungu di lagu barunya *tidak terlalu baru sih, sudah saya dengar sekitar bulan Juli lalu* mau tidak mau mengantarkan saya untuk sedikit berargumen. Lagu-lagu Ungu sudah seringkali saya dengar sejak SMP. Debut pertama mereka, kalau tidak salah, saya jadikan salah satu lagu untuk drama parodi ketika manggung dengan teman-teman untuk acara perpisahan sekolah. Beberapa tahun kemudian, saya mendengar kabar bahwa Ungu mengeluarkan album religi Islam.

Sebenarnya tulisan ini tidak akan ada kalau saja siang tadi tidak terlintas dalam pikiran saya mengenai perkataan salah seorang teman tentang lagu Andra & The Backbone berjudul Sempurna. Menurut teman saya, Andra mengaku bahwa lagu Sempurna sebenarnya bukan ditujukan untuk kekasih, namun kepada Tuhan. Lirik dalam lagu tersebut terlalu tinggi untuk dinyanyikan buat kekasih. Maka, cukup banyaklah pendengar di radio tempat saya siaran yang sepertinya salah sangka dengan merikwes lagu itu dan mengirimkannya untuk kekasih mereka.

Nah, dengan lintasan pikiran itu dia, saya tak sengaja menyenandungkan lagu Ungu berjudul Kekasih Gelap. Lucu rasanya. Ungu yang punya 2 album lagu rohani *benar kan, ada 2?* berisi pertobatan, pengakuan dosa kepada Tuhan, namun masih juga terus menerus berdosa dengan memiliki kekasih gelap. Barangkali hanya lagu sih ya. Tapi kan, lagu itu setidaknya sudah memberi ’lampu hijau’ untuk mereka yang memang punya kekasih gelap. Yeah, tau sendiri kan kalo ada beberapa orang yang suka dan seringkali menghubungkan kisah kehidupan mereka dengan lirik lagu yang cocok. Saya aja begitu kok. Makanya, menurut saya, Ungu ini termasuk yang mengakomodir pembenaran terhadap kepemilikan kekasih gelap, siapapun itu.

Jelas saja saya tidak setuju. Namun, agak kasihan juga sih dengan si kekasih gelap. Katakanlah benar, Ungu memiliki kekasih gelap. Sungguh kasihan si kekasih gelap, karena dia disayangi melebihi APAPUN, bukan SIAPAPUN. Si kekasih gelap memang sama sekali tidak pantas disayangi lebih dari SIAPAPUN, karena Ungu pastilah menyayangi SIAPA (baca: ALLAH SWT) melebihi siapapun lewat lirik lagu rohani yang mereka tulis. Namun, kalau dibandingkan dengan APA, jelas saja si kekasih tidak pantas. Masa kekasih dibandingkan dengan barang? Waaah, berarti rendah banget kan derajat si kekasih gelap di mata Ungu? Iya jelas, karena perbandingannya hanya APA, bukan SIAPA *dalam artian kekasih asli atau kekasih terang Ungu*.

Rasa kasihan saya untuk si kekasih gelap tidak hanya di situ saja. Derajat kekasih gelap bagi Ungu masih tidak setinggi kekasih terangnya. Perhatikan lirik Meskipun engkau hanya, kekasih gelapku... Izinkan saya menebalkan kata hanya. Well, mengerti kan maksud saya? HANYA, artinya sekedar, cuman, saja, just, only, sebuah kata keterangan yang artinya tidak lebih, no more or no less. Bayangkan wahai kekasih gelap. Masa sih masih mau jadi kekasih gelap? Idiiih. Putus aja deh. Kayak pria HANYA dia aja di dunia ini. Cari yang jelas-jelas aja, jangan mau jadi yang gelap. Sudah cukup gelap negara ini akibat mati lampu *terutama di Pontianak tercinta*.

Cukuplah. Saya rasa kekasih gelapnya Ungu sekarang *maupun kekasih gelap orang lain* sudah cukup mendapatkan ’keterangan’ untuk keluar dari ’kegelapan’ tersebut.

diary baruku

Hmmm, alhamdulillah ternyata hujan siang tadi benar-benar berkah. Berkat hujan, kaki saya melangkah ke TB Gramedia. Membiarkan mata saya bermanja-manja dengan ratusan ribu buku yang barangkali tidak saya beli, namun saya lirik dan saya baca sebagian halamannya. Hujan siang ini pulalah yang mengantarkan saya pada sekumpulan halaman, hampir penuh berisi hewan cantik kesukaan saya!

Berulang kali saya balik halaman diary baru saya: sebuah diary cantik *dalam pandangan mata seorang pencinta kupu-kupu*. Diary terbitan DAR! Mizan, penulisnya Bambang Q-Anees. Diary yang tidak sekedar kertas-kertas kosong saja. Warna-warna cerah mengalihkan pandangan saya dari sebuah buku yang sudah setengah halaman saya baca, sebuah buku karangan Irfan Amalee berjudul Boleh Dogn Salah. Setelah berniat membeli buku tersebut, mata saya tertuju pada diary yang baru saja saya letakkan dengan hela nafas lega karena berhasil memilikinya. Sebuah diary berjudul Metamorpho-self, Diary 365.

Sampul depannya begitu berwarna. Membuat tangan saya tidak kuasa tertahan untuk tidak membuka lembar-lembar halamannya. Lantas hati saya kontan girang demi melihat seonggok *bah, macam kotoran saja pake onggok!* tebaran kupu-kupu di halaman diary yang penuh warna ini. Dengan begitu banyak kata-kata dan kalimat pembangkit semangat, seakan menyatu dengan isi kepala saya siang tadi. Subhanallah. Ditambah lagi, diary ini berisi nasihat Islami, berpadu dengan kebutuhan duniawi yang rasanya: dinie banget deh! Masa saya tega mengasihani diri saya pulang dengan menyesal tanpa membeli diary ini?

Sekarang saya puas, saya sudah memiliki diary itu. Walaupun barangkali agak sedikit terlambat membelinya, karena hari ini sudah Oktober, artinya 2 bulan lagi menuju Tahun Baru. Namun tak mengapa, karena ternyata di diary yang saya beli, tidak mencetak tahun 2007 sehingga itu berarti, sampai tahun depan saya masih bisa tulis-tulis bebas di diary ini nanti. Waaah senangnya. Diary seperti inilah yang saya inginkan sebagai hadiah ulang tahun. Tapi saya senang sudah membelinya dengan uang sendiri. *Berarti inilah hadiah ulang tahun untuk saya, walaupun sudah telat 3 bulan hehe kayak hamil aja*.


Alhamdulillah. Saya sangat senang. Optimis saya sekarang pelan-pelan mulai muncul. Rasa optimis untuk melangkah ke depan dalam rangka menjadi ketua panitia event nanti. Waaah, Allah memang hebat memacu semangat saya lewat sebuah diary mungil yang tak lepas dari kalimatNya pula. Thank You, Allah.

Sunday 7 October 2007

Tolong Bina, bukan Binasakan

Well, Alhamdulillah malam ini saya dan teman-teman menikmati akhir pekan menyenangkan di tepi sungai dalam keremangan indah namun silau. Hehe, silau? Maksudnyaaaa... yeah silau oleh blitz kamera digital salah seorang teman yang narsis *walaupun sebenarnya kami semua narsis sih*. Ber-7 malam ini, sepertinya lumayan menarik perhatian khalayak juga karena kami satu-satunya rombongan wanita berjilbab yang nongkrong di kafe. Apalagi, jilbab saya dan teman-teman bukan jilbab gaul, melainkan jilbab yang ditutupkan sampai ke dada.

Apakah terlihat aneh ya ketika para akhwat bercengkerama di kafe begitu? Setau saya sih, berikhtilat dalam Islam memang tidak boleh, dilarang. Namun, lokasi duduk saya dan teman-teman malam ini sepertinya tidak mengindikasikan ikhtilat apalagi khalwat. Anyway, saya yakin bahwa semuanya tergantung niat. Saya dan teman-teman tidak menjadikan kafe tadi sebagai tempat maksiat. Alhamdulillah pula, tidak ada maksiat yang bisa kami saksikan malam ini. Hmmm, barangkali peluang bagus juga ya untuk saya dan rekan-rekan Gaby, berpikir tentang berbisnis kafe, khusus akhwat yang ceria dan butuh refresing pula hehe.

Stress saya lepas. Debar saya karena menjadi ketua panitia sebuah event bernama English Pintar pelan-pelan turun seiring tawa yang muncul bersama teman-teman yang sungguh kompak ’menggila’. Menjadi ketua panita, sebuah event yang sangat ingin saya saksikan eksistensinya, sebuah tantangan untuk saya, namun juga suatu tanggung jawab yang bisa mendebarkan jantung saya. Apalagi, ditambah dengan beberapa bibir manis yang saya tak tau apa tujuannya. Ikut campur, peduli, memojokkan, atau ingin memprovokasi, entahlah. Barangkali mereka peduli, namun cara yang muncul ke permukaan memunculkan argumen seakan mereka ingin menyulut api emosi. Nah, nambah lagi kan tantangan dan cobaan saya. Masya Allah.

Terima kasih wahai bibir-bibir manis. Ucapan dari bibir tersebutlah yang akan menjadi noda dalam kepanitiaan saya dan teman-teman setia saya. Ga ada noda ya ga belajar. Terima kasih. Berkat noda dari kalian, wahai pemilik bibir manis, maka saya dan teman-teman mendapatkan kesempatan untuk belajar.

Kapan ujiannya? Jadi, kalau bisa jangan terus menerus menabur noda ya. Sekali-sekali, dukung kami dengan membeli pemutih atau detergen sehingga keberadaan bibir manis itu tidak sekedar meninggalkan noda, tapi bisa benar-benar menjadi PENASEHAT YANG MEMBINA, bukan penasehat yang MEMBINASAKAN.

Saturday 6 October 2007

temanku keluargaku

This Saturday, I and my friends –Gaby the crazy—have already planned to have breakfasting together in one cafe nearby Kapuas River. It’s been along time for me didn’t spend my time hanging out with friends and have fun. So, I consider to just skipping home breakfasting with almost my whole big family. Sometimes, in some certain cases, friends are much more worthy than family.

Kenapa? Magrib kemarin, Ibu saya berkata bahwa ketika sedang kesulitan, keluarga akan membantu. Dalam situasi terjepit, seperti terkena musibah, keluarga akan jadi orang yang paling peduli. Tapi sayangnya, hal ini tidak begitu saya rasakan secara mendalam. Bukan berarti keluarga saya tidak membantu saat saya sedang sibuk atau terjepit, namun keluarga saya selalu kalah langkah mengulurkan bantuan. Sangat jarang sekali saya menemukan orang berkata, “Dia keluarga saya, sudah seperti teman sendiri.”. Namun seringkali saya mendengar orang-orang berkata, ”Oh, dia teman dekat saya, sudah seperti keluarga sendiri.” Dan tidak sekedar kalimat, namun dengan implementasi yang bisa dipertanggung jawabkan pula.

Nah, itulah yang saya jadikan alasan utama untuk tetap hang out dengan teman-teman saya akhir pekan nanti. Di kampus saja, tidak cukup untuk meluangkan waktu kami yang berharga demi sebuah kebersamaan. Beda rasanya. Waktu kosong saat menunggu kehadiran dosen di kampus, dengan waktu kosong yang sengaja kami luangkan untuk bersama-sama sungguh kentara sekali bedanya. Walaupun kegilaan yang dituangkan selalu saja hampir serupa di setiap acara, namun kekhususan waktu yang sengaja dicari akan menambah makna kebersamaan saya dan teman-teman. Merekalah teman saya, yang sudah seperti keluarga saya sendiri.

Untuk itu saya berdoa, semoga persahabatan ini tidak melenakan saya. Semoga kepercayaan yang mengalir tidak membuat kami menjadi lupa. Semoga tawa yang setiap hari tercipta benar-benar menjadi warna indah yang padu, menghilangkan semua yang abu-abu.

Thursday 4 October 2007

Gaby - Gank Budak Intelek *haha*

Puasa ke 20, selepas kuliah saya dan teman-teman (yang akhir-akhir ini mendeklarasikan diri secara tidak formal dengan sebutan GABY) memilih untuk menghabiskan waktu dan tenaga dengan bertualang ke Mal. Petualangan yang menarik. Perginya bertujuh, tapi pulangnya sendiri-sendiri. Iya, soalnya kita bawa sepeda motor masing-masing, dan punya keperluan masing-masing yang berbeda pula. Hmmm, memang susah saat wanita-wanita yang sok karir cari waktu yang pas untuk ngumpul sama-sama.

Kaki-kaki yang sebenarnya sudah pegal itu memutuskan untuk masuk ke pusat perbelanjaan berisi pakaian-pakaian dan sepatu. Menuju tempat bernama Matahari Department Store, kami bertujuh pun memulai petualangan. Pola belanja yang macam-macam, bikin saya geleng-geleng kepala. Lamaaaa banget nangkring di stand sepatu, consider buat yang bertali atau yang engga, eeeh akhirnya pilih yang pertama diambil juga. Pyuuuwh. Untung aja beli. Kalo ga jadi beli kan kasian Mbak SPG-nya. Ulah wanita yang lagi kena sindrom ’males pulang ke rumah, pengen belanja’, begitulah dia.

Ternyata, saya dan teman-teman memang bukan tipe orang yang sangat menjunjung tinggi nilai dan azas fashionable. Buktinya, kita semua ngga betah berlama-lama di MDS, melainkan langsung bergerak ke Toko Buku Gramedia. Wah, saya kan kalau udah di toko buku, apalagi kalo di Gramedia, bawaannya jadi males keluar Mal. Suka lupa waktu. Baca gratis di Gramedia, duduk di lantai lesehan udah kayak di rumah sendiri aja hehe. Kenikmatan yang beda ketika ngelantai (maksudnya duduk di lantai) dengan teman-teman, bisa membaca sambil mengomentari isi buku.

Bersahabat memang indah. Saya merasakan semangat persahabatan lagi hari ini. Sebuah persahabatan yang selalu saja unik. Kadang, cela caci hina di mata orang lain menjadi sebuah guyon tanpa menimbulkan atmosfer yang dapat merusak suasana hati. Kadang, hal-hal kecil yang tak perlu dikomentari menjadi begitu penting untuk dibahas dalam forum ’besar’. Sebuah persahabatan yang sangat menyenangkan. Tidak membuat saya lupa diri, menjaga saya untuk tetap berjalan di jalur yang benar, tanpa keluar dari garis cakrawala.

Sahabat-sahabatku, tetaplah menjadi sahabatku. Dengan identitas kalian masing-masing, tanpa perlu bertukar KTP hehe.

Tuesday 2 October 2007

Minderkah Anda?

Idul Fitri sebentar lagi. THR sudah dibagi-bagi. Tapi saya males ah ngomongin THR melulu. Kasian perusahaan-perusahaan yang tersindir, yang tak sanggup membayar karyawannya dengan THR yang layak. Kasian pula beberapa karyawan yang meringis bingung dengan nominal THR yang seakan sedang puasa satu bulan *HEH! Katanya ga mau ngomongin THR, ya udah jangan disinggung!*. Oke, deh oke. Mari bicara tentang hal lain, dan kalau bisa jangan tentang mati lampu lagi. Yang itu juga sudah bosen. Kasian PLN, Perusahaan Negara yang barangkali juga butuh menjadi manusia, punya rasa punya hati, lelah tiap hari dicaci dan dimaki.

Barusan saja terlintas dalam benak saya tentang acara ngumpul blogger community bernama pesta blogger. Temen saya, Puspa Hanandhita, mengabari saya bahwa akan ada pertemuan para blogger se-Indonesia di Jakarta 27 Oktober 2007 nanti. Info lengkapnya silahkan ke sini atau di sini kalo ga salah itu alamatnya. Coba aja.

Nah, bicara tentang pertemuan itu tuh, blogger se-Indonesia, apakah saya termasuk blogger pula? Rasanya ga pantes deh. Melihat blog-blog lain dari blogrolling teman-teman via dunia maya ini, muncul perasaan minder aja. Blog saya tidak sekeran blog teman-teman. Blog thekupu ini tercipta secara iseng, ketika saya butuh tempat untuk menuangkan tulisan-tulisan saya selama bertahun-tahun sejak saya SMA. Dulunya saya pernah bikin 2 blog, berwarna pink juga. Saya sudah lupa username dan passwordnya, sehingga tak pernah lagi saya urus. Makanya, ketika saya ada waktu luang, saya sempatkan untuk ngeblog, bikin blog baru lagi.

Sekedar coba-coba gerakkan jari-jari di keyboard, klik ini itu lewat tangan kanan ini, mampir ke situs sana dan sini, copy dan paste, selesailah. Rasanya segitu saja proses saya berkreasi dengan blog ini. Masih cetek. Perasaan minder saya langsung muncul saat Puspa ngabari akan ada pertemuan blogger se-Indonesia di Jakarta nanti. Saya membatin, ”Count me out, I do not deserve to be one of them.”

Minder, tidak pede. Manusiawi tidak ya?

Itulah dia yang akan saya tulis sekarang. Tentang minder dan tidak pede.

Sebelumnya, izinkan saya membela diri karena memiliki rasa minder dan tidak pede untuk kasus blogger se-Indonesia ini. Saya merasa bahwa saya pantas untuk minder. Namun, saya sebenarnya sangat tidak suka dengan orang yang sering ke’minder’an, terlalu tidak pede dan terlalu sering merasa diri tidak pantas di antara jutaan umat manusia. *Eh, minder saya pantes loh ya à membela diri atau menusuk diri sendiri sih?*. Iya, sungguh saya tidak suka. Tapi, apa itu minder? Apakah minder itu tempat untuk menaruh kertas file? *beuuh, itu Binder euy bindeer*. Oke, ayo main bahasa.

Minder, dilihat dari sisi Bahasa Inggris, rasanya berasal dari kata ’Mind’. Diberikan suffix ’er’, menjadi noun, sehingga berarti ’Pemikir’. Namun, kalau dipindahkan ke Bahasa Indonesia, minder tidak lagi berfungsi sebagai noun, namun beralih fungsi menjadi adjective alias kata sifat. Ditilik dari kegunaannya, minder dinyatakan ketika ada seorang atau sekumpulan orang yang memelihara perasaan kurang percaya diri, cenderung ke arah rendah diri terhadap suatu individu atau suatu kelompok. Berbagai macam alasan yang menyebabkan manusia menjadi minder. Alasan paling kuat adalah rasa tidak percaya diri yang muncul akibat perasaan tidak memiliki apa yang dimiliki oleh orang yang diminderi *nah, sekarang mindernya sudah berubah fungsi lagi menjadi kata kerja, hehe main bahasa memang asik*.

Memperhatikan alasan minder yang paling kuat, yaitu tidak percaya diri, lalu berakibat pada rasa rendah diri, maka bisa disimpulkan bahwa minder bukanlah sifat yang layak dipelihara lebih lama lagi. Bukankah kita tidak dianjurkan untuk rendah diri? Bukankah rendah diri hanya kepada Allah saja, tidak kepada sesama manusia? Kalau rendah hati, iya harus. Tapi kalau rendah diri, waaah jangan terlalu lama dieram dalam diri, nanti capek sendiri.

Jadi, apakah saya sekarang masih rendah diri ya tentang blogger se-Indonesia itu? Hmmm, ada keinginan, tapi ke Jakarta sendirian kan sama aja nganterin jiwa raga dan harta *nah, kalo yang ini namanya shu’udzan ya?*. Belum beranak sudah ditimang, bagai menegakkan benang basah, tak ada gading yang tak retak, hehe hari ini semangat lingustic sedang mengalir dalam dada.

Ya sudah lah. Minder atau tidak minder, itu pilihan semua orang. Rendah diri itu kadang perlu, demi menjaga sifat sombong supaya tidak keluar dari koridornya. Saya kadang-kadang masih merasa bahwa diri ini terlalu sombong untuk ukuran manusia biasa. Izinkan saya minder hari ini.