
Namun, perbolehkanlah saya singgung satu hal yang tak boleh dilupakan dan tak akan dilupakan semua karyawan di setiap pertengahan bulan Ramadhan. Tiga kata indah berjudul THR, Tunjangan Hari Raya. Tapi, mengapa judul di atas menjadi Tanggungan Hidup Rakyat? Mari kita bahas, yuk...
Berawal dari tanda tangan
Seorang teman, bekerja di lembaga yang sama dengan saya, belum genap 3 bulan, mendapatkan nominal yang sama untuk ’uang jajan’ dengan nominal yang saya dapatkan. Seakan saya ini adalah seorang hamba Allah dan karyawan suatu lembaga yang tidak pandai bersyukur, namun rasanya patutlah saya sedikit kecewa dengan ’keadilan’ yang terjadi dalam ’lembaga menyenangkan’ tempat saya bekerja. Apakah saya akan menganiaya pikiran saya sendiri jika saya berpikir bahwa pemilik ’lembaga menyenangkan’ tersebut menganiaya saya (lagi)? Kata orang-orang, kita harus bersyukur. Dizholimi terus-terusan juga bersyukurlah, dan berdoalah maka doa Insya Allah terkabul. Apalagi di bulan penuh berkah ini.
Nah, maka bertanya-tanyalah saya dalam hati dan kepala. Apakah nominal ’uang jajan’ tersebut didasarkan pada tanggungan hidup rakyat sehingga diberi nama ’Uang Jajan’ bukan THR? Atau masih belum siap berjalan sebagai sebuah lembaga sehingga tidak bisa memunculkan THR yang sungguh-sungguh Tunjangan Hari Raya atas dasar pertimbangan Tanggungan Hidup Rakyat yang semuanya belum menikah dan belum akan menafkahi anak istri serta diri? Rasanya sih seperti itu. Karena kalau dilihat-lihat, saya dan semua teman disamaratakan tanpa dipandang status panjangnya jangka kerja di ’lembaga menyenangkan’ tersebut. Lagi-lagi, saya yang merasa dizholimi ya?
Tapi sudahlah. Kenapa jadi tidak bersyukur begini? Lagipula bukan itu fokus Tanggungan Hidup Rakyat saya di tulisan kali ini. Ada hal lain yang lebih menarik lagi untuk dibahas, masih tentang THR, Tunjangan Hari Raya yang menyenangkan dari lembaga-lembaga lain yang jauh lebih menyenangkan dan menjanjikan. Tidak di halaman ini. Ayo pindah ke halaman baru.
No comments:
Post a Comment