dhz tweets fb dhz dhz on pinterest dhz g+ dhz socmed dhz blogs dhz is ... Home Home Image Map

Friday, 7 September 2007

Sentimen Pribadi

DISSAPPOINT! That was my feeling of yesterday for some cases happened outside my wish. Some of personal sentimental emotions are the factors. Same mistakes happened again, after about 4 years ago being the host of a championship, not really ready yet to handle it. Hah. Just wonder how could those happened again, same mistakes in different time, with me again inside!
Sebuah debat berarti adu argument, arguing di atas podium, di dalam sebuah ruangan, disaksikan dengan cermat oleh QUALIFIED adjudicators, mendebatkan sebuah motion yang layak diperdebatkan PADA SAAT SEKARANG, up to date motion, tidak melibatkan sentiment pribadi yang dicurigai dibawa-bawa sampai ke ruang debat. Please, be professional debaters. Inside the room we were enemy, but outside the room, after getting out from the floor, we are FRIENDS! Please, show that you are qualified to adjudicate, not heading out your personal sentimental to a team.

Bukan sekedar di lantai debat saja saya tak inginkan satu hal bodoh yang saya sebut sebagai SENTIMEN PRIBADI, namun di dunia kerja pula. Begitu lama sudah terasa sentiment pribadi untuk tidak mengedepankan karir. Sungguh. Sudah ada begitu banyak kebodohan, so many stupidity that show actually you are too jealous to see me in the peak of my fluorescent. You do not wanna see me to be more popular than before, or to be better than before, to improve my ability that I deserve to improve by playing with your own personal sentimental! Please, when people in their floursecent zone, let them get what they deserve to get.

Sentimen pribadi. Betapa menyebalkan ketika tau bahwa saya berhak kembangkan kemampuan saya untuk suatu bidang, berhak di ’udarakan’ dengan licensi yang sebenarnya sudah sangat disertifikasi, namun karena sentiment pribadi, hal-hal yang layak pun akhirnya tertutupi dengan sentiment pribadi yang merugikan karir orang lain.

Sentimen pribadi. Muncul akibat tak jadi menikahi orang yang ingin dinikahi *atau menikah dengan orang yang diinginkan, tapi tak menginginkan*. Muncul karena tak mendapat peduli dari orang yang tak senang dengan sikap seorang dewasa yang kekanak-kanakan. Muncul saat hari pernikahan akan segera tiba. Muncul saat tahun berpindah, matahari baru awal tahun beranjak. Muncul saat tak mendapat peduli dari orang yang begitu peduli terhadap saya, yang lebih memilih saya untuk diajak pergi ke tempat jauh itu, sedikit tak pedulikan tangis cemburu dalam rasa ketikdapunyaan.

Sentimen pribadi. Masih tetap ada ternyata, bahkan ketika sama sekali sudah tidak ada celah untuk mewujudkan rasa ketidakpunyaan. Masih tetap kentara, bahkan ketika saya tak lagi diajak pergi ke tempat jauh, namun masih bisa dengan bebas dan santai berinteraksi di tempat yang sangat dekat jika saya ingin. Masih saja muncul walaupun sudah hasilkan harta berharga yang seharusnya bisa menjadi symbol bahwa seorang dewasa sungguh tidak layak lagi mengedepankan sentiment pribadi untuk menjadi kekanak-kanakan. Sungguh bodoh.

Saya tidak bisa berbuat apa-apa dengan sentiment pribadi tersebut. Dia pewenangnya, untuk bidangnya. Saya, untuk sementara ini, hanya menikmati indahnya disewenangi dengan cara begitu. Terima kasih, rekan kerjaku. Tak kusangka, kejadian sejak lama itu masih menyisakan emosional bodoh yang kau pun bahkan tak sadar sedang memiliki rasa itu dalam hatimu.

2 comments:

  1. dimana mana selalu begitu. Sentimen pribadi lebih mengarah kepada kekalahan intelektual dan kemandulan dalam berkreatifitas dengan rekan kerja.
    Sikap tidak bisa menerima kelebihan orang lain atau mengakui disiplin ilmu orang lain yang lebih menguasai persoalan adalah salah satu akar sentimen pribadi. Kalaw dari pendapat profesional tidak bisa dikalahkan, masih ada celah untuk "menciderai" orang lain dengan celah pribadi. Ini tidak sehat.

    Jadi sentimen apapun bentuknya memang tidak baik dan melanggar asas kepatutan dalam hubungan antar profesional dilingkungan atau unit kerja manapun.

    ReplyDelete
  2. Setuju, sentimen pribadi begitu kuat mempengaruhi objektivitas seseorang, tanpa peduli bahwa sesungguhnya seseorang pantas mendapatkan apa yang layak ia dapatkan. Sulit, jika selalu saja ada sentimen pribadi, tidak akan bisa maju perusahaan yang berpotensi untuk maju, hanya karena satu orang yang terlalu mengedepankan 'pesona' sentimen pribadi akibat kejadian tak enak di masa lalu.

    kasian sekali mereka.

    ReplyDelete