
Ibu saya berpesan, “Pilih suami jangan terlalu selektif, nanti nikahnya lama.”
Suaminya Rena, salah seorang sahabat saya berkata, “Bilangin Dini, jangan terlalu banyak kerja, nanti lama nikahnya.”
Om saya, salah seorang dosen matematika, Bapak Ahmad Yani meramalkan, “Kamu nanti nikahnya bakalan lama.”
Tante saya *yang sempat saya singgung beberapa kali di blog ini* berkomentar tentang jarangnya menemukan saya di rumah, “Din, coba jangan sibuk-sibuk banget sama kerjaan. Nanti lupa cari jodoh!”
Setelah membaca novelet tentang Dewi Zahrana karya El Shirazy, saya bercermin diri. Saya ini tidak sesalehah wanita cantik dalam novel itu. Saya ini tidak sungguh-sungguh ahli dan profesional dalam bidangnya seahli dan seprofesional tokoh Rana dalam novel itu. Saya ini tidak (baca: belum tentu) cukup beruntung untuk mendapat kesempatan pendidikan akademik setinggi pendidikan yang didapatkan Rana. Bagaimana mungkin saya berani membatin bahwa akhir kisah penemuan jodoh saya akan seindah Dewi Zahrana, M.T?
Sekarang ini Ramadhan, hari ke-3. Dewi Zahrana menikah dengan Hasan, seorang mahasiswanya ketika menjadi dosen, pada malam ke-2 di bulan Ramadhan. Momen yang pas, dengan sedikit khayalan yang memalukan. Novel ini sungguh mengingatkan saya pada empat kalimat kutipan dari orang-orang yang perhatian pada saya, terutama di kehidupan asmara *benarkan jodoh itu hubungannya ke ASMARA?*.
Jangan terlalu selektif, tidak terlalu sibuk bekerja, sibuk-sibuk banget sama kerjaan (dan pendidikan, sebagai tambahan) sehingga menyebabkan wanita jadi lama menikah. Jujur, sempat ada kekhawatiran juga tentang nikah ini. Apalagi, sampai sekarang, meskipun saya tidak menganut anti-pacaran yang fanatik, saya merasa tidak juga menemukan satu orang yang saya anggap cocok untuk dijadikan pendamping. Terlalu cepatkah saya memikirkan orang yang cocok itu? Apa ini hanya emosi yang muncul akibat membaca novel 4 jam yang lalu?
Ya, saya rasa belum waktunya untuk berpikir tentang orang yang cocok itu, entah siapakah orangnya, masih jadi rahasia Allah, setara dengan rahasianya maut dan rezeki yang sudah rahasia dari sejak saya lahir, yang bahkan saya sendiri pun tidak tau *namanya juga rahasia*. Maka, dini hari ini, saya sepakat dengan diri saya sendiri dan bersaksi, dengan ikhlas menyatakan bahwa saya masih terbawa emosi sesudah membaca karyanya El Shirazy. Luar biasa. Itulah sebabnya mengapa saya suka menulis juga membaca. Benarlah pendapat El Shirazy, bahwa membaca bisa membuat kita seakan mencium aroma darah di Palestina, mendengar suara tembakan di medan perang, dahsyatnya rasa rindu Majnun pada Layla, dan semuanya. Jadi, let’s close the case.
Biarlah saya tetap menjadi orang yang seakan-akan terlalu sibuk bekerja, susah ditemui di rumah *padahal sepertinya waktu tidur siang saya lebih banyak daripada waktu kerja, sungguh* dan juga sementara ini selektif dalam menyeleksi orang-orang yang belum bisa diseleksi *lebih karena belum ada orangnya hehe*. Anyway, saya masih tetap ingin menikah di usia 23. Sekarang saya 20, artinya 3 tahun lagi. Ada yang siap melamar?
No comments:
Post a Comment