
Di sini, saya pengen tulis banyak sebenarnya. Banyak! Tentang hidup, sahabat, cinta, sayang, berantem, kalau bisa semua! Yea, mudah-mudahan saja tidak kebanyakan dan akan terangkai jadi satu dalam barisan kalimat yang keluar dari ketikan keyboar di komputer saya, yang terfikir dari otak, dan tersalurkan dari perasaan ini. Terima kasih hidup...
Setelah 18 tahun terlahir di dunia, entah itu usia yang cukup matang atau tidak. Ada cukup banyak tulisan yang saya tulis di buku-buku kecil saya, maupun di media ini, tapi tak pernah saya ingat benar. Rata-rata, terpaksa berakhir lewat tulisan. Yang sudah saya tulis, lalu saya ingkari. Yang saya baca, dan saya tertawakan. Ada juga yang saya baca, lalu saya tangisi, saya kenang, dan tak terlupakan.
Tak akan saya lupakan, saat indah yang pernah saya alami. Dan akan selalu saya ingat pula, betapa sakit saya dikhianati, betapa kecewa saat saya sadar bahwa saya salah bersikap, salah memilih dan betapa kecewanya saya saat saya sendiri tidak tau di mana letak kesalahan saya. Saya tidak akan lupa, saat saya menangis, menangisi berbagai hal yang sebenarnya tidak perlu saya tangisi. Bodoh sekali saat saya menangiskan itu! Sekarang saya malah ingin menertawakan kebodohan saya saat saya tangisi semua. Yah, saya tetap tidak akan lupa semua itu. Saya hanya lupa, berapa banyak waktu, tenaga, materi yang habis untuk memikirkan hal-hal tak berguna itu. Tapi semoga, Tuhan ingatkan saya. Mudah-mudahan saya diingatkan, ada berapa banyak orang yang pernah saya sakiti, agar saya bisa ucapkan "Maaf" pada mereka.
Walaupun baru, (atau sudah) 18, saya ingin segera sukses ke depan, di awal 20 dan seterusnya. Saya ingin merasakan yang realistis, and I'm sure I will. Saya yakin, tak lama lagi semua yang tidak realistis akan segera berakhir, pergi dari hadapan saya. Saya yakin, karena yang tak realistis itu, akan segera menikah ;) Tapi saya ngga mau terlibat apa-apa dalam pernikahan itu hahaha. Saya hanya mau jadi tamu saja. Saya ingin bisikkan kalimat yang sudah saya siapkan, untuk kedua mempelai. Jadi, bersiaplah!
I even do not really remember that I have written those! However, I still remember every little word; every word has meaning, implicitly and explicitly. I am still aware about it.
“Yang sudah saya tulis, lalu saya ingkari. Yang saya baca, dan saya tertawakan. Ada juga yang saya baca, lalu saya tangisi, saya kenang, dan tak terlupakan.”
Sampai sekarang pun bahkan masih saya lakukan. Sudah 2 tahun berlalu, dan menulis, menulis, menulis lagilah yang pada akhirnya menjadi media paling logis bagi saya untuk berbagi. Kalau toh akhirnya tulisan ini dibaca lagi oleh orang lain, maka itulah saat paling membahagiakan dalam diri saya. Paling tidak, ada orang lain yang bisa saya ceritakan tentang apa yang sedang terjadi pada diri saya tanpa saya harus bicara dan bertatap mata.
Saya masih sering menangis saat menulis. Saya masih sering tertawa melihat buku-buku kecil rekaman kejadian tak penting. Saya masih suka mengenang itu semua, dan masih tak terlupakan.
”Bodoh sekali saat saya menangiskan itu! Sekarang saya malah ingin menertawakan kebodohan saya saat saya tangisi semua. Yah, saya tetap tidak akan lupa semua itu. Saya hanya lupa, berapa banyak waktu, tenaga, materi yang habis untuk memikirkan hal-hal tak berguna itu.”
Baru saja tadi sore yang memikirkan tentang hal-hal yang saya tangisi dulu. Juga ngobrol dengan seorang teman di studio setelah siaran, tentang masa lalu yang begitu kelam dan gelap, mampu membuat air mata menyapu pipi dengan lembut kalau saja tidak mempertimbangkan bahwa tak layaklah menangis di depan lawan jenis *begitukah?*.
Saya sempat mengklaim, bahwa masa lalu saya sungguh gelap, hitam pekat. Namun, saya mengubah warna masa lalu saya menjadi abu-abu setelah menyimak kisah teman saya, yang saya anggap masa lalunya tidak lebih putih atau abu-abu dibanding masa lalu saya. Astaghfirullah, memang benarlah bahwa selama ini saya kurang pandai bersyukur. Benar pula lah bahwa di atas langit masih ada langit. Di bawah tanah masih ada air *eh, pernah ya ada rangkaian kalimat seperti itu?*. Sekali waktu, saya merasa perlu untuk dengarkan kisah semacam itu *yang akhirnya dapat mengingatkan saya*. Setidaknya, meredam sedikit rendah diri di hati yang hanya layak dihadapkan pada Allah saja. Dan semoga, tidak menambah tinggi hati yang tidak layak ditunjukkan kepada siapapun!
Mengingat saat saya menangisi hal-hal tak penting itu *sekarang ga penting, dulu barangkali penting*, membuat saya berpikir lagi berulang kali sebelum membuat statement yang akan memiliki pengaruh besar untuk hidup saya. Satu hal yang tidak boleh saya anggap tidak penting dari kejadian dulu adalah: pelajaran penting yang saat ini saya rasakan manfaatnya. Itulah hal paling penting dan paling logis yang saya izinkan masuk ke dalam memori otak ini.
” Walaupun baru, (atau sudah) 18, saya ingin segera sukses ke depan, di awal 20 dan seterusnya. Saya ingin merasakan yang realistis, and I'm sure I will. Saya yakin, tak lama lagi semua yang tidak realistis akan segera berakhir, pergi dari hadapan saya. Saya yakin, karena yang tak realistis itu, akan segera menikah ;) Tapi saya ngga mau terlibat apa-apa dalam pernikahan itu hahaha. Saya hanya mau jadi tamu saja. Saya ingin bisikkan kalimat yang sudah saya siapkan, untuk kedua mempelai. Jadi, bersiaplah!”
Sayangnya, yang tak realistis itu sampai sekarang belum juga menikah hehe. Dan harapan segera sukses ke depan, di awal 20, saya merasa sudah ada gejala terancam sukses yang pernah didoakan oleh teman saya. Thanks ya Allah, makasih temanku, untuk doa ’terancam sukses’-nya. Lalu, mengenai perasaan realistis, bahkan sampai sekarang pun saya tidak tau bagaimana menjelaskan ’yang realistis’ itu. Anyway, saya bersyukur bahwa akhirnya yang tak realistis itu sudah pergi dan berakhir, sudah lama berlalu dari hadapan saya. Walaupun ’yang realistis’ tak kunjung *belum* datang menghampiri saya, saya tetap yakin Allah menyayangi saya. Yang saya butuhkan saat ini adalah SABAR dan SYUKUR *bukan orang bernama Sabar atau Syukur yaaaa. Tapi kalo mereka cocok, kenapa engga hehe*.
Well, that was the typewriting when I was 18. Now, I am 20. Can you see some changes? Or still the same?
Tak akan saya lupakan, saat indah yang pernah saya alami. Dan akan selalu saya ingat pula, betapa sakit saya dikhianati, betapa kecewa saat saya sadar bahwa saya salah bersikap, salah memilih dan betapa kecewanya saya saat saya sendiri tidak tau di mana letak kesalahan saya. Saya tidak akan lupa, saat saya menangis, menangisi berbagai hal yang sebenarnya tidak perlu saya tangisi. Bodoh sekali saat saya menangiskan itu! Sekarang saya malah ingin menertawakan kebodohan saya saat saya tangisi semua. Yah, saya tetap tidak akan lupa semua itu. Saya hanya lupa, berapa banyak waktu, tenaga, materi yang habis untuk memikirkan hal-hal tak berguna itu. Tapi semoga, Tuhan ingatkan saya. Mudah-mudahan saya diingatkan, ada berapa banyak orang yang pernah saya sakiti, agar saya bisa ucapkan "Maaf" pada mereka.
Walaupun baru, (atau sudah) 18, saya ingin segera sukses ke depan, di awal 20 dan seterusnya. Saya ingin merasakan yang realistis, and I'm sure I will. Saya yakin, tak lama lagi semua yang tidak realistis akan segera berakhir, pergi dari hadapan saya. Saya yakin, karena yang tak realistis itu, akan segera menikah ;) Tapi saya ngga mau terlibat apa-apa dalam pernikahan itu hahaha. Saya hanya mau jadi tamu saja. Saya ingin bisikkan kalimat yang sudah saya siapkan, untuk kedua mempelai. Jadi, bersiaplah!
I even do not really remember that I have written those! However, I still remember every little word; every word has meaning, implicitly and explicitly. I am still aware about it.
“Yang sudah saya tulis, lalu saya ingkari. Yang saya baca, dan saya tertawakan. Ada juga yang saya baca, lalu saya tangisi, saya kenang, dan tak terlupakan.”
Sampai sekarang pun bahkan masih saya lakukan. Sudah 2 tahun berlalu, dan menulis, menulis, menulis lagilah yang pada akhirnya menjadi media paling logis bagi saya untuk berbagi. Kalau toh akhirnya tulisan ini dibaca lagi oleh orang lain, maka itulah saat paling membahagiakan dalam diri saya. Paling tidak, ada orang lain yang bisa saya ceritakan tentang apa yang sedang terjadi pada diri saya tanpa saya harus bicara dan bertatap mata.
Saya masih sering menangis saat menulis. Saya masih sering tertawa melihat buku-buku kecil rekaman kejadian tak penting. Saya masih suka mengenang itu semua, dan masih tak terlupakan.
”Bodoh sekali saat saya menangiskan itu! Sekarang saya malah ingin menertawakan kebodohan saya saat saya tangisi semua. Yah, saya tetap tidak akan lupa semua itu. Saya hanya lupa, berapa banyak waktu, tenaga, materi yang habis untuk memikirkan hal-hal tak berguna itu.”
Baru saja tadi sore yang memikirkan tentang hal-hal yang saya tangisi dulu. Juga ngobrol dengan seorang teman di studio setelah siaran, tentang masa lalu yang begitu kelam dan gelap, mampu membuat air mata menyapu pipi dengan lembut kalau saja tidak mempertimbangkan bahwa tak layaklah menangis di depan lawan jenis *begitukah?*.
Saya sempat mengklaim, bahwa masa lalu saya sungguh gelap, hitam pekat. Namun, saya mengubah warna masa lalu saya menjadi abu-abu setelah menyimak kisah teman saya, yang saya anggap masa lalunya tidak lebih putih atau abu-abu dibanding masa lalu saya. Astaghfirullah, memang benarlah bahwa selama ini saya kurang pandai bersyukur. Benar pula lah bahwa di atas langit masih ada langit. Di bawah tanah masih ada air *eh, pernah ya ada rangkaian kalimat seperti itu?*. Sekali waktu, saya merasa perlu untuk dengarkan kisah semacam itu *yang akhirnya dapat mengingatkan saya*. Setidaknya, meredam sedikit rendah diri di hati yang hanya layak dihadapkan pada Allah saja. Dan semoga, tidak menambah tinggi hati yang tidak layak ditunjukkan kepada siapapun!
Mengingat saat saya menangisi hal-hal tak penting itu *sekarang ga penting, dulu barangkali penting*, membuat saya berpikir lagi berulang kali sebelum membuat statement yang akan memiliki pengaruh besar untuk hidup saya. Satu hal yang tidak boleh saya anggap tidak penting dari kejadian dulu adalah: pelajaran penting yang saat ini saya rasakan manfaatnya. Itulah hal paling penting dan paling logis yang saya izinkan masuk ke dalam memori otak ini.
” Walaupun baru, (atau sudah) 18, saya ingin segera sukses ke depan, di awal 20 dan seterusnya. Saya ingin merasakan yang realistis, and I'm sure I will. Saya yakin, tak lama lagi semua yang tidak realistis akan segera berakhir, pergi dari hadapan saya. Saya yakin, karena yang tak realistis itu, akan segera menikah ;) Tapi saya ngga mau terlibat apa-apa dalam pernikahan itu hahaha. Saya hanya mau jadi tamu saja. Saya ingin bisikkan kalimat yang sudah saya siapkan, untuk kedua mempelai. Jadi, bersiaplah!”
Sayangnya, yang tak realistis itu sampai sekarang belum juga menikah hehe. Dan harapan segera sukses ke depan, di awal 20, saya merasa sudah ada gejala terancam sukses yang pernah didoakan oleh teman saya. Thanks ya Allah, makasih temanku, untuk doa ’terancam sukses’-nya. Lalu, mengenai perasaan realistis, bahkan sampai sekarang pun saya tidak tau bagaimana menjelaskan ’yang realistis’ itu. Anyway, saya bersyukur bahwa akhirnya yang tak realistis itu sudah pergi dan berakhir, sudah lama berlalu dari hadapan saya. Walaupun ’yang realistis’ tak kunjung *belum* datang menghampiri saya, saya tetap yakin Allah menyayangi saya. Yang saya butuhkan saat ini adalah SABAR dan SYUKUR *bukan orang bernama Sabar atau Syukur yaaaa. Tapi kalo mereka cocok, kenapa engga hehe*.
Well, that was the typewriting when I was 18. Now, I am 20. Can you see some changes? Or still the same?
No comments:
Post a Comment